Friday, 5 September 2014
ESSAY 1 : Dr. M. Dwi Marianto
RUANG YANG (SEHARUSNYA)
MENGINSPIRASI PAMERAN FESTIVAL KESENIAN INDONESIA KE-8 2014
Lingkungan sosial-geografis dengan dinamika budayanya yang ada, selalu saja mampu memengaruhi karakter estetik dari lembaga pendidikan seni dan disain yang berada dalam lingkungan itu. Realita keseharian lingkungan itu pun biasanya jadi rujukan penting dalam mengeksplorasi dan mengembangkan ide-ide kreatif, metafor, solusi estetik, pendekatan disain, atau pemilihan media dan material yang termunculkan pada karya-karya seni dan produk-produk yang dihasilkan.
Akan membuka mata dan menginspirasi kalau produk-produk seni dan disain dari berbagai lingkungan berbeda itu disandingkan di ruang dan waktu yang sama secara bersamaan, dan akan menjadi taferil ‘warna-warni”. Maka diperlukan penyelarasan warna, jenis media, ukuran dan karakter dari karya-karaya yang akan dihadirkan. Berkaitan dengan ini, karya-karya seni dan disain yang mewakili semua anggota BKS, yang terdiri dari ISI Ujung Pandang, ISI Padang Panjang, ISI Surakarta, STKW, IKJ, STSI Bandung, ISI Yogyakarta, tidak dikelompokkan berdasarkan PT asal masing-masing, melainkan disusun berdasarkan kesamaan tampilan fisik, atau warna dari karya-karya bersangkutan. Penyelarasan ini penting, agar karya-karya dapat terkelompokkan secara harmonis, sehingga ruang pajang karya tidak mengecil secara optis, melainkan sebaliknya.
Selain itu, perlu pula dijadikan pemahaman bersama, bahwa perhelatan ini berada dibawah perhelatan Festival Kesenian Indonesia (FKI) ke-8. Maka ide tentang keindonesian harus diletakkan di urutan terdepan. Artinya para pemirsa akan dibimbing ke satu cara pandang tertentu, yaitu melihat kata ‘Indonesia’, dalam FKI sebagai satu entitas bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbentuk dari keberagaman suku, budaya, bahasa, adat-istiadat, dan kepercayaan.
Pameran FKI ke-8 di Kampus ISI Yogyakarta menggelar kurang-lebih 300 karya seni dan disain, yaitu karya-karya dosen dan mahasiswa dari ketujuh PT Seni yang tergabung dalam BKS PT Seni, dan sejumlah karya dari beberapa alumnus ISI Yogyakarta. Karya-karya terpilih dipamerkan di dalam dan luar ruang. Meliputi karya-karya dengan media konvensional, baru, atau alternatif. Pada prinsipnya kami menginginkan agar para peserta dapat menghadirkan karya-karya yang menginspirasi, atau yang mengusung kebaruan. Yang terpenting konsep dan ujud karyanya meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena sesungguhnya lembaga pendidikan harus selalu berani untuk berinovasi, dan juga memutakhirkan kurikulum serta orientasi pendidikan. Untuk apa? Tentu saja untuk menjawab permasalahan aktual masa kini. Perguruan Tinggi Seni, sama dengan perguruan Tinggi lain, harus mau membuka dan memperbarui diri secara terus-menerus seiraman perkembangan zaman.
Karya-karya yang dipamerakan adalah hasil pengkurasian oleh para kurator dari semua perguruan tinggi anggota yang terlibat. Supervisi dan diskusi atas apa yang layak pamer, maupun yang tidak, dilakukan sacara kolektif. Semua kurator bersama-sama mendatangi kampus semua perguruan tinggi peserta, meninjau langsung dan mendiskusikan permasalahan on the spot. Melalui kunjungan ke kampus-kampus itu kami melihat terjadinya dinamika, negosiasi, dan tensi antara yang tradisional atau lokal dan yang modern, kontemporer, atau global. Ada yang lebih merefleksi realita budaya tradisional, atau budaya etnik; namun ada pula yang tidak terlalu memasalahkan apakah yang digarap itu urban, tradisional, atau global, yang penting mereka dapat mengartikulasikan permasalahan baru di masa sekarang ini melalui seni atau disain.
I Ketut Murdana (ISI Denpasar) dalam tulisannya mengatakan bahwa karya-karya Seni Rupa ISI Denpasar memilih cara pandang yang menempatkan warna lokal sebagai basis pergulatan untuk menyerap unsur-unsur budaya luar yang menaburi Bali, secara selektif. Tantangan akibat hadirnya budaya-budaya luar dilihat sebagai peluang, dan sekaligus sebagai motivasi untuk pencarian ide-ide kreatif dalam menghasilkan karya-karya yang beridentitas dan berkualitas, guna menanggapi dinamika pasar. (Dikembangkan dari tulisan kuratorial I Ketut Murdana, “Seni Untuk Peradaban Yang Manusiawi).
Erizal, kurator dari ISI Padang Panjang, menyatakan bahwa ISI Padang Panjang mengeksplor dan mengembangkan unsur-unsur dan perbendaharaan seni yang diserap dari tradisi Melayu atau Minangkabau. Interest akan keberagaman seni budaya, dan pemilihan salah satu dari keragaman yang ada, telah sejak awal dinyatakan di awal tulisan kuratorialnya, sebagai berikut: “Keragaman seni budata yang menyangkut karakteristik media, keunikan, corak, gaya, dan bentuk maupun ideologi yang dimiliki bangsa Indonesia adalah modal dasar dalam melahirkan karya seni yang kreatif, inovatif, dan kompetitif bagi insan perguruan tinggi yang ada di Indonesia”. (“Pameran Seni Rupa ‘Spirit of the Future: Art for Humanizing Civilization’”)
Bramantijo, kurator STKW Surabaya, melalui tulisannya ia menarik hubungan antara karya-karya pilihan dari STKW Surabaya, dan thema Pameran FKI 2014, yang adalah “Spirit of the Future: Art for Humanizing Civilization”. Ia secara gamblang mengakui bahwa semua karya pilihan dari lembaganya itu, dibuat tahun 2014. Ada yang diciptakan sebelum thema pameran digulirkan, dan selebihnya yang dibuat setelah thema pameran ditentukan. Ia berdalih karena thema pameran kali ini cukup luas untuk bermanuver kreatif secara leluasa, sejauh karya itu tetap menghadirkan simbol-simbol kemanusiaan yang mengindahkan nilai-nilai yang memanusiawikan peradaban.
Agus Cahyono, kurator STSI Bandung, menyoroti karya-karya drawing dan rancanganbusana dari lembaga yang diwakilinya. Drawing, dan karya tekstil busana dengan pewarna alami, menurutnya sangat baik mewakili interest dan jati diri para mahasiswa STSI Bandung, dalam menunjukkan kelokalan dan ciri-ciri seni etnis daerah Bandung. Seni dalam konteks ini menurutnya adalah wahana keberlangsungan pewarisan budaya masyarakat disana yang memiliki kelekatan yang kuat pada lingkungan alam dan nuansa alami. Ia melihat dengan jelas jejak proses perkembangan di tiap perguruan tinggi seni, yang selalu berupaya untuk menyajikan smangat kebaruan sesuai dengan keunggulannya masing-masing.
Mengenai karya-karya yang disodorkan di kampus-kampus yang didatangi, untuk dipilih, kiranya pendapat Prof Dharsono, kurator dari ISI Surakarta layak diperhatikan. Ia mengatakan bahwa karya-karya dari 7 Perguruan Tinggi Seni anggota BKS PT Seni, sangat beragam, dan sebagian besar menyiratkan kegelisahan dalam menyikapi perkembangan kreativitas seni dewasa ini. Seni Murni (lukis, patung, grafis), Seni Kriya, dan DKV hampir semuanya mendambakan ekspresi personal dalam berkarya. Ia pun mencatat bahwa dilihat karya-karya yang ada nampaknya para mahasiswa mulai menyadari pentingnya kepekaan teknis dan pengembaraan imaginasi dalam proses kreatif. Maka, ia menyimpulkanbahwa pameran bersama seperti perhelatan FKI 2014 ini sangatlah diperlukan, sebagai ajang dialog antara seniman, karya, dan penghayat untuk memperbincangkan ragam bentuk, ragam makna, dan ragam nilai dalam seni. (Catatan kuratorial Sony Kartika / prof Dharsono).
Sinyalemen mengenai kegelisahan oleh Dharsono sungguh layak untuk dicermati. Macam-macam penyebab atau pemicu kegelisahan. Namun menurut penulis (M Dwi Marianto) boleh jadi kegelisahan itu disebabkan oleh realita semakin membesarnya gap antara wacana seni yang berkembang di lingkungan akademis kampus PT Seni, dan apa yang menggejala di luar ‘pagar’ lembaga akademis. Beberapa tahun belakangan ini paradigma akademik lebih megarah ke sistem yang menekankan paradigma yang bersifat linie, dalam mana hanya perkembangan ilmiah yang selalu segaris sajalah yang memperoleh point. Proses penciptaan seni, riwayat penelitian dan penulisan yang dianggap benar dan kredibel harus yang selalu sebidang, atau segaris dengan tahapan yang berjenjang. Atau, proses kreatif yang dibayangkan sahih dan saintifik adalah yang sejak awal terjabarkan secara jelas pilah, dengan struktur dan proses perealisasian yang memiliki kepastian dan serba terukur.
Padahal kenyataannya, realita yang sesungguhnya itu selalu membingungkan, absurd, dan lompat-lompat. Ide-ide seni itu biasanya berseliweran dan bergerak zigzag. Sehingga muncullah ungkapan “from chaos to order” – dari yang serba acak ke ketertataan. Yang menggejala di dunia seni manapun, misalnya sebagaimana yang sudah sering tergelar di berbagai perhelatan seni rupa, orang dapat jelas melihat bahwa karya-karya seni yang menggebrak cara pandang, dengan daya ganggu kuat, yang menginspirasi munculnya kebaruan, dan yang sarat metafor kreatif baru, biasanya justru karya seni / disain yang pemunculan ide kreatifnya tidak linier, melainkan yang dinamik non-linier. Ide-ide itu dipetik dari luar ‘kotak’ kelaziman, atau yang ditangkap dari sesuatu yang bergerak di wilayah yang samar-samar.
Kegelisahan adalah energi yang dapat diubah menjadi daya kreatif. Tanpa kegelisahan dan rasa terprovokasi, pikiran seniman akan melambat, berhenti, lalu mati. Orang belajar memang harus gelisah. Seperti halnya ketika orang masuk ke dalam suatu ruang pamer yang menggelar karya-karya yang menginspirasi; ia akan gemetar, gelisah, jantungnya berdegup, merasa tertantang, ‘panas’, lalu berkata “aku juga bisa”.
Semoga Pameran Seni Rupa di FKI ke-8 di Kampus ISI Yogyakarta menjadi forum pembelajaran bagi siapa saja, apakah yang mengorganisisr, melihat, mengkritik, atau yang mengambil hikmah apa saja dari padanya, baik dosen maupun mahasiswa. Sebagai greget merencana karya yang menawarkan inovasi, novelti, atau apa saja yang memberi makna istimewa bagi dirinya dan masyarakat. Salam FKI
M Dwi Marianto
Kurator Tuan Rumah FKI 2014
Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Thursday, 4 September 2014
ESSAY 1 : Nur Hasni Abdul Motthalib
WHAT I TALK ABOUT WHEN I TALK ABOUT ART SCENE
My involvement in the art scene only started in mid-2012 and at that time, I knew close to nothing about the art scene. The only artist I have ever heard and met was Jailani Abu Hassan; who was a client assigned for my sophomore year project in architecture. In understanding the profile of the client, I did a background research on him, looking for any story/news/articles that I could find on the internet that could give me a glimpse of the life of an artist. And I did found one interesting article relating his early struggle; from dropping out the military college, doing portraits and tourist art on Jalan Tuanku Abdul Rahman upon his graduation in Fine Art from MIT (now UiTM), joined Anak Alam, to being noticed and was given a scholarship to London. It was a struggle still for him in London in finding his own identity as an artist.₁ It was a sad epoch of his life but while I was reading the article, never once I felt sorry for him. The only impression that imprinted in me was ‘How cool is the life of an artist, to be able to do what they love most, declining the normal way of life, to be carefree’. That was my view from outside of the circle.
But from the inside, it is not as free and easy as I thought it was. The more I look around, the more I realized how fragile Malaysian art scene is: from the current state of National Visual Art Gallery (NVAG), the state of the art scene today, the common courtesy of private/commercial galleries, the inadequacy of local art education system, and the moral ambiguity of the art community.
The current state of NVAG.
During the opening reception of “Grande”; a group show at Core Design Gallery recently, the current chairman of NVAG, Dato Mahadzir Lokman in his opening speech proudly announced his contentment on how Malaysian art scene has been standing strong since the establishment of NVAG (or formerly, and soon to be known as its original name; National Art Gallery or NAG) in 1958, as opposed to Singapore, following their upcoming launch of Singapore National Art Gallery in October this year.
It did sound ‘grande’, the 56-years-official-history of Malaysian art scene if to be measured since the inception of NVAG, but I have to disagree with the idea of defining success only by looking at the time frame alone. I know it is unfair to compare Malaysian art scene with those in European countries where the history of art spanned for thousands of years. But if to observe from Southeast Asian countries point of view, we cannot easily be satisfied with where we are today.
Though it is a fact that Singapore will only have their national art gallery in 2014, it does not mean that their achievement in art scene is any lesser than we do if we look at the accomplishment of Singapore Art Museum (SAM-founded in 1996, almost 40 years later than NVAG), Art Stage (since 2011) and Singapore Biennale (since 2006), while Indonesia has gone to another level with their annual ArtJog (started out in 2008 as part of Yogyakarta Art Festival and became independent in 2009), Jakarta Biennale (since 1968, previously known as ‘Pameran Besar Seni Lukis Indonesia’), Biennale Jogja (since 1988), and the newest Jogja Miniprint Biennale that was first held in June 2014. These events not only act as a platform for artists worldwide to exchange ideas and have a critical discourse but at the same time, flocked in art lovers from across the globe and help boosting the tourism industry of both countries.
Back in Malaysia, we are still arguing whether to use NVAG over NAG. Together with a series of unfortunate events that led NVAG/NAG to an even worse state; especially the scandalous solo exhibition of “Ken Yang, Paris – Kuala Lumpur” and the protest “Kita Angkat Kita Julang Karya Kita” that follows one month after as an objection to the show, J. Anu’s case during M50 exhibition in 2013, as well as the Cheng Yen Pheng issue during the latest “Young Contemporaries”, which became quite a talk of the town.
It seems that we put our energies and emotions on small things when we should look at the bigger picture: how to create an ideal industry that works for everyone and how do we elevate the art scene on par with our neighbouring countries.
State of the art.
Former curator of NVAG, Tan Sei Hon’s words when being asked to describe the Malaysian contemporary art scene by Elaine Lau for The Edge Malaysia, Issue 809 on 7 June 2010 was:
“I felt that the late 1990s and early 2000s were more exciting. There were seriously experimental works [and a] spare no expense kind of attitude. Later things slowed down a bit. And now when you talked about contemporary art, it’s mostly about paintings, stuff that is quite trendy and saleable. I feel there’s a lethargy, that the energy is kind of down. Those who can sell remain, they prevail. But those who can’t, some who did some really kick-ass work but couldn’t sustain themselves, they kind of dropped out.”₂
True enough; sales of artworks will definitely give artists a boost they need to keep producing arts. The problem these days is when the sales is the only thing that artist expect in producing arts, which reflected on the kind of arts they produced; commercial.
The loophole.
Other statement from Sei Hon that really caught my attention during the radio interview was “We can’t do everything,” referring to the limitations of NVAG as a sole organization to elevate local art scene. (Though the statement to me was quite an easy escape), this is where private organizations and galleries and even artists themselves come into the picture, and the way I see it, some of them have done everything that they can afford, as far as their financial statement would allow them to.
Take a look at how private galleries like HOM Art Trans (former House of MATAHATI – with their notable ARTRIANGLE, SAGER, A-RES, INTERES, MEA AWARD, YOUNG GUNS), Galeri Chandan (KJ, KJF, NAFAS, MEA AWARD/FMA) and G13 Gallery (run a residency program in Bali) who take their own initiative to provide residency programs for artist so that these artists will have an exposure that could stimulate their thoughts, enhance their techniques and widen their connections; a break from their normal routine. Not to mention international exhibitions and art fairs, art talk, workshop, special projects, for the betterment of the art industry. These kinds of programs (especially those held abroad) do not come cheap and requires hard work by the gallery management, with most galleries can only afford to hire 2-3 personnel under their roof.
Even artists themselves have taken initiatives to create new platforms for art to be viewed, discussed and appreciated in a whole new level that parallel with the advancement of information technology. For example, Hasnul Jamal Saidon has teamed up with Niranjan Rajah and launched E-Art Asean Online in 1997-1998, a project to document artworks using non-traditional media; the internet. Sharon Chin, a conceptual artist, together with freelance curator Simon Soon and curator Eva McGovern has come up with an art blog that they called Arteri. While Bayu Utomo Radjikin and Nur Hanim Khairuddin opened up MARS (Malaysian Art Archive and Research Support) that collect and archive mainly printed materials related to Malaysian art scene. It is such a waste that some of these projects or movements have now ceased their operation probably because of lack of fund and support. A thing that NVAG as the highest art institution formed under the board of ministry should be aware and act upon.
The common courtesy of private/commercial galleries.
As the name suggest, it is not the role of private galleries to think or plan for a better art scene in Malaysia. Most of the artists are unaware or forget that commercial galleries are run by their own rolling fund. The operational cost of running a gallery is high; the rental, personnel and professional fees, logistic, and to add up the cost for opening reception. The only way for commercial galleries to survive is through sales of artworks.
Looking at the current situation, most private galleries like HOM Art Trans, Segaris Art Centre, Taksu, Pace Gallery, G13 Gallery, Core Design Gallery, Artelier and Galeri Chandan even, seems are in a good shape, based on the line up of shows every month. But there was a time last year that three or four galleries as mentioned above featuring the same list of artists in the same month; a group of young artists whose artworks was in a high demand in the market. It is inconsiderate for private galleries to only think and care about profit without taking into consideration the welfare of the artists and the effect if they appear too frequent on the surface.
However money-driven line of work we are in, it is our common courtesy to educate, advice and not to take advantage of these budding artists who might be ignorant of how the game of capitalist is being played on a higher ground.
The inadequacy of local art education.
Young artists (mostly graduates from UiTM) that I managed to have heart-to-heart conversation with regarding the art scene, most of them commenting that the five years diploma and degree education in the university does not prepared them to be in the art scene.
Art scene in Malaysia means more than just a passion. The moment artists put a selling price on their artworks, it is already a business. And if anyone lives day to day on the sale of artworks alone (full-time artist), being an artist means more than just a hobby, it is a profession. It’s what they do for a living. And just like any other businesses, there are terms like management, marketing strategy, the ethics and the code of conduct, applied. The problem with the current education system is, fine art students only being exposed or taught based on the technical parts alone, by lecturers who are not actively involved in the art scene themselves. As if upon graduation, art will only be a skill that they have for life.
Not to mention the issue with UiTM policy that enables the university to choose and keep a number of the students’ artworks as the university collections. The problem is these collections are not properly handled and kept. Some of the artworks were sold behind the artists’ back while some of them were even being disposed because of the bad condition due to improper handling. This kind of moral disvalue performed by a higher authority is the reason these young artists act arrogantly and defensive upon leaving the university and entering the art scene.
The moral ambiguity within the art community.
Our art community is built by a small and close-knit group who share similar passion. From the artists, the gallerists and the collectors, at some point we even become friends, and it is easy to get personal in a sensitive industry like this. But no matter how close the relationship is, it is best to keep being professional at all times.
That includes redefining the freedom of speech. Artists are expressive; if they cannot get their artworks be seen, they will get their words heard or read in the blog, Facebook statuses, etcetera, in the name of critics. But there is a huge difference between commenting and condemning. A critic is never a self-defense and should be made without having any personal connection to a certain issue.
The other prominent issue that deals with moral ambiguity within the art community is that there is a scenario that could be seen during opening reception at the galleries; different crowd for different artists featured, artists who only hang out with those in the same group or level (comfort zone), artist who hardly come to the opening but when you see him or her you know that he or she will have a show at a certain gallery soon, artists who when asked are they going to a certain opening at a certain gallery and the reply is “I don’t think so, I don’t know the artist” or “I’ll see if he/she come to my show then I’ll go to his/her”, artists who when being invited to the opening asked, “What’s on the menu?”.
There is another activity held during the opening reception that usually happened among young artists, which I called “counting red dots”. To the eye of young artists, the definition of a good show lies on how many red dots you can find on the wall. It might seem unimportant, but these attitudes portray who we really are inside; our thoughts, our principle and things that matter to us.
I do hope that in time with ‘Merdeka’ and Malaysia day, we will realize that our role and involvement in the art scene is not just a personal thing, but a national agenda! But until the gallerists learn to look at artists as a liability rather than just a commodity, until artists learn to put the differences aside and support each other (regardless the different opinion and principle), until we all learn to be rational rather than being emotional and come as one, it will be a long journey still for Malaysian art scene to flourish.
NUR HASNI ABDUL MOTTHALIB
August 2014
This writing was never intended to point finger to any individual, organization or institution. If it does offend or hurt anybody, it was just because it is the truth, and truth hurts!
REFERENCE
1. The man behind the art, The Star, 11 March 2007, Tan Lee Kuen.
2. In conversation: State of the art, Lifestyle, The Edge Malaysia, Issue 809, 7-13 June 2010, Elaine Lau.
ESSAY 1 : Lam Shun Hui
UNDER CONSTRUCTION 2014 MIA FINE ART DIPLOMA SHOW
This is a group show for the fresh graduates in MIA, serving as a platform for both learning and self exposure. There are a total of six artists participating in this show, all embracing different styles and themes for their work. This show displays their works during their final semester in MIA, thus a display of their learning results as well, only this time, with the public as their assessor instead of lecturers.
Under construction was a title decided at the beginning of the exhibition, representing our status as fresh graduates whose future and career are still under construction. It is only a play of words when we thought about it initially.
But personally, I interpret the term “Under Construction” as an action which we artists do a lot, as we are generally people who create something out of nothing. I suppose despite the diversity of themes and artworks that can be seen in the art scene, the initial motif of it might be nothing more than an idea, or even a prank, which then undergo a process of realization.
The outcome of this realization, the artwork, brings different, say, effects, or impact towards the society. Some works are rather subtle — when compared to some rather radical works which can have a sound impact when said works are presented to the public— expressions of personal emotion or inner world of the artist, which would be like dripping water into a vast ocean, while some —like the works of Ai Wei Wei— which surrounds itself around controversy, using the controversy to speak about the controversy, would definitely be on the opposite end of the spectrum if there was one, like sinking an entire island.
I think that although not in a conventional way, these pieces and the people behind them are all in their own scale and method, contributing to the construction of the society. Although it might not seem so, a work of self expression still has its impact, albeit on a more personal level. It brings together the feelings of people, who knows, it might evoke something huge.
Artists might not have as direct an influence as politicians or economists have on the course we go, but we still are pushing the minds of people forward, either by pushing on boundaries or by highlighting something or setting an example, who knows, which I believe are the exact fundamental elements of change.
By getting together this time, I won’t say that we are constructing the society, but I think we can agree that by holding this show, we had set up an example to future Fine Art graduates, a construction in itself.
The show will be coming to its end in a few days. This version of interpretation on our title is something which I came to realize when we are halfway through the show. Me and my friends, we might have different interpretations and thoughts about it, as one of them told me that it was due to the passion for art that makes people willingly go through this molding process to construct themselves into the ideal which they see and aspire to be: an artist.
Which it might be true as well.
ESSAY 1 : Anwar Azhari
DARI TANAH
Dan (ingatkanlah peristiwa) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia dari tanah liat yang kering, yang berasal dari tanah kental yang berubah warna dan baunya. (surah Al-Hijr, ayat 28)
Dan (ingatkanlah peristiwa) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia dari tanah liat yang kering, yang berasal dari tanah kental yang berubah warna dan baunya. (surah Al-Hijr, ayat 28)
Mengimbau pameran residensi Faizal ‘A Piece of Land’ di Galeri Shah Alam pada tahun 2011, ‘tanah sekangkang kera’ yang disediakan telah diterokai dengan sebaiknya. Umpama rutin seorang petani, benih yang disemai dengan peralatan untuk berbudi dan berbicara pada tanah kian membuahkan hasil. Menjadi saksi kepada tanah dan persekitaran luar negara seperti Singapura, Beijing dan Bali menambahkan kematangan Faizal dalam perbandingan sosio budaya setempat sebagai inspirasi menghasilkan karya.
Meneruskan penerokaan kembara seni ke Bali telah menajamkan lagi pandangan Faizal dengan memanfaatkan rakaman diarinya dalam pameran ‘Silent Diary’. Justeru memberikan ilham pada hasil karya tahun akhir di pengajian peringkat Master pada tahun lalu. Karya cetakan pemindahan terus lahir dari pemerhatian kehidupan seharian beliau. Penempatan studio dan penginapan yang dikelilingi tanah dan bercucuk tanam antara elemen penting dalam pengkaryaan Faizal baik di Meru mahupun di Hulu Langat.
Set peralatan cetakan yang sering dibawa bersama membolehkan Faizal mendapatkan kesan jalinan secara langsung. Permukaan simen dan tanah menjadi pilihannya untuk dipindahkan ke kanvas. Karya berjudul ‘Menyemai Budi’ menampilkan kesan jalinan halus dan kasar permukaan tanah penerokaan Faizal. Kasar dan halus yang mewakili perjalanan penerokaan tanah yang terbentang luas tanpa gambaran perspektif dalam penghasilan karyanya kali ini. Proses penyemaian benih dari mula hingga genap waktu menikmati hasil tanaman disulami dengan warna hitam terang dan gelap mendasari sebahagian karya. Kumbang dan benih serta tunas dengan bicara Faizal bermain pada tanah dipermukaan catan.
‘Buka Tanah’ digambarkan bentukan siput, benih dan dedaunan serta rantingan di atas tanaman. Daripada biji benih yang tidak jauh bezanya antara satu sama lain, akan tumbuhlah pokok, batang, daun, bunga dan buah yang berbeza-beza . Pengaruh alam sekeliling sememangnya amat kuat pada kehidupan manusia. Oleh itu perlakuan sesuatu perkara diukur dengan apa yang berlaku di pandangan mereka. .
Menjalani kehidupan perlulah ada perencanaan seperti firman Allah:-
“Yusuf menjawab: "Hendaklah kamu menanam bersungguh-sungguh tujuh tahun berturut-turut, kemudian apa yang kamu ketam biarkanlah dia pada tangkai-tangkainya; kecuali sedikit dari bahagian yang kamu jadikan untuk makan” – (surah Yusuf, ayat 47)
Perencanaan adalah untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada masa akan datang, sekaligus juga bertujuan mencapai sasaran yang dituju . Faizal telah merencanakan apa yang ingin disampaikan kepada khalayak mengenai kepekaan manusia kepada alam. Benih-benih yang membesar menjadi tumbuhan membekalkan oksigen kepada manusia dan kita semakin melupakan kepentingan benih dalam proses tumbesaran kita.
‘Sebenih Sepi’ mengingatkan kita akan kembalinya setiap makhluk kepada Pencipta dalam timbunan tanah liat kelihatan bersendirian dan sepi. Asal kejadian manusia dari tanah pulang ke tanah merupakan semaian yang tersirat dalam erti kemanusian bersama penyampaian Faizal kepada masyarakat. Wallahu’alam.
Anwar Azhari
Kelana Jaya
Februari 2014
ESSAY 1 : Intan Rafiza
KUASA HARAPAN DAN TANAH
Dirgahayu tanah air ku…
Seni itu sudah lama merdeka. Ia adalah medium penghubung antara manusia sejagat dan juga antara manusia dengan Pencipta dan alam. Ianya medium pembina negara bangsa, malah seni boleh menghancurkan kuasa penjajahan fizikal dan mental. Melalui seni muzik, teater, filem, seni persembahan, seni pertunjukan, fotografi, seni jalanan malahan seni visual, seni merupakan medium komunikasi yang dilihat paling hampir dan rapat sejak dari dulu lagi dalam menyampaikan mesej kepada masyarakat . Sejauh manakah medium ini menjadi tukang seni, dan dalam skop kemerdekaan bagaimana pengkarya menggunakan seni untuk memahami apa itu maksud merdeka dan kemerdekaan? Samada dalam skop yang lebih luas atau memperkatakan tentang kemerdekaan diri sendiri?
Bersempena sambutan kemerdekaan yang ke-55 pada tahun 2012 ini, Pameran ‘Kuasa, Harapan dan Tanah’ dipersembahkan dalam ruang galeri 2B, Balai Seni Visual Negara. Pameran adalah eksposisi dari karya koleksi BSVN dari pelbagai medium penghasilan, pengkarya dan karya dalam ruang, masa dan pengalaman masing-masing.
Pameran ini menggunakan tiga kata utama penegasan iaitu ‘kuasa’, ‘harapan’ dan ‘tanah’ dalam menghuraikan proses dan nilai kemerdekaan untuk dihargai dan dikenang. Rasa dihargai dan dikenang ini adalah untuk menerapkan rasa cintakan negara atau kata yang lebih utuh adalah rasa ‘patriotisme’.
Pameran ‘Kuasa, Harapan dan Tanah’ adalah dedikasi buat para patriot seni yang menggunakan seni sebagai senjata dan kreativiti dalam menyampaikan mesej tertentu. Malah tiada darah atau kematian yang mengiringi perjuangan tetapi rakaman visual melalui kepelbagaian medium seni yang akan bertahan 100 tahun lagi. Koleksi ini adalah tanda pensejarahan pengkarya–pengkarya terdahulu dan kini yang mempunyai suara dan berekspresi seni dalam berhubung dengan masyarakat sekeliling. Ianya tanda sokongan dan keyakinan kepada kuasa kebebasan suara rakyat, sistem demokrasi dan rasa cintakan tanah air.
Membawa erti ‘kuasa’ dalam pemilihan karya adalah terdiri dari karya-karya yang melibatkan isu yang lebih dominan di dalam menyampaikan mesej. Lebih bersifat penegasan terhadap satu titik kesimpulan dalam karya yang diketengahkan. Ianya boleh dilihat dan ditafsirkan dari segi isu dan idea yang dibawa ataupun imej-imej yang digunakan.
Amir Zainorin/ T.A.R/ 2007/ Akrilik, kolaj dan gel atas kanvas/ 110 x 150 sm
Yoh Poh Sin/ Chin Peng/ 1950/ Cetakan gelatin perak/ 47 x 72 sm
Karya ‘T.A.R’ oleh Amir Zainorin merakamkan ikon merdeka Tunku Abdul Rahman dalam inspirasi yang berunsurkan pop seni yang mana ikonik disusun berulang dengan warna dan komposisi berbeza-beza. Teknik tampalan (kolaj) dan sapuan warna digunakan dalam menggunakan elemen pengulangan yang membentuk satu komposisi yang lebih harmoni. Selain dari itu juga, rakaman foto ketua Parti Komunis Malaya (PKM) iaitu Chin Peng oleh Yoh Poh Seng adalah antara karya seni medium fotografi yang merakamkan kuasa besar haluan kiri sewaktu negara melalui proses kemerdekaan.
Kedua-dua karya yang menggunakan imej individu ini mengingatkan semula tentang Rundingan Baling 1955 di antara Tunku Abdul Rahman dan Chin Peng. Rundingan ini telah gagal untuk mencapai kesefahaman dalam mengisytiharkan kemerdekaan Malaysia pada 31hb Ogos 1957 yang kita sambut tanpa persefahaman Parti Komunis Malaya sehinggalah Perjanjian Haadyai dibuat di antara kerajaan Malaysia, Thailand dan Parti Komunis sejajar dengan kejatuhan komunis di Rusia dan runtuhnya tembok Berlin di Jerman Timur pada 1989.
Selain daripada itu juga, karya ‘Вечная слава героям‘ (‘Kemuliaan Pada Pahlawan-Pahlawan Selama-lamanya’) oleh V. Fedyavskaya adalah di antara karya yang dipertontonkan dalam pameran kali ini. Karya ini merupakan hadiah daripada Kedutaan Rusia kepada BSVN sekitar tahun 1970an bersempena satu pameran yang telah diadakan di BSVN. Pengkarya merakam imej figura yang melambangkan rakyat Rusia sewaktu Perang Dunia II ketika penentangan kuasa Soviet Union terhadap kuasa Nazi Jerman. Imej tiga lelaki yang mengangkat senjata dikiri dan dikanan, imej ibu dan anak memegang bunga dan lambaian sapu tangan yang melambangkan bagaimana kesatuan seluruh rakyat dalam berjuang untuk mencapai kemerdekaan negara. Perkataan bahasa Rusia yang membawa maksud ‘aman’ menjadi subjek utama pengkarya dalam menghasilkan karya ini. Melalui karya ini juga dapat dilihat bagaimana V. Fedyavskaya merakam tahun bermulanya Perang Dunia Kedua dan pengakhiran tanda pembebasan negara dari penjajahan.
V. Fedyavskaya/ Kemuliaan Pada Pahlawan-Pahlawan Selama–lamanya/ Cetakan lino/ 55.5 x 81 sm
Selain daripada melihat bagaimana kuasa dunia mencapai kemerdekaan dan kebebasan yang bersifat nasionalis dan patriotik, satu lagi karya dari Amir Zainorin yang bertajuk ‘The Stamp Series’ merakamkan portret patriot yang tidak didendang terdiri dari mereka yang berlainan haluan politik tetapi dalam satu perjuangan kebebasan dan cintakan tanah air. Wajah Abdul Aziz Ishak iaitu seorang lagi pejuang yang pernah menyertai kabinet negara pada pemerintahan Tunku Abdul Rahman sebagai Menteri Pertanian dan Koperasi, pahlawan Melayu Mat Kilau yang menentang penjajahan Inggeris, srikandi Ketua Wanita UMNO Khadijah Sidek, perajurit Suriani Abdullah dan Shamsiah Fakeh dari Rejimen ke -10, pejuang sastera Pak Sako dan beberapa yang lain lagi.
Amir Zainorin/ The Stamp Series/ 2008/ Cetakan digital/ 56 x 46 sm
Dalam melewati kuasa-kuasa besar yang haluannya adalah berbeza-beza, perkara ini dilihat sebagai satu titik tolak rakyat mencari jalan untuk melepasi diri dari penjajahan dan ke arah kemerdekaan.
Kata ‘kuasa’ juga ditafsirkan di dalam karya Wong Hoy Cheong melalui Siri Migran iaitu salah sebuah karya beliau yang bertajuk, ‘Dia Kahwin Umur 14 Tahun dan Dapat Anak 14 Orang’ (‘She Was Married at 14 and Had 14 Children’). Dalam karya ini imej ibu yang memegang alat penoreh getah dan di kelilingi aksi manusia yang seakan-akan anak kecil dan juga terdapat nota wang lama di atas permukaan karya. Persoalan perempuan menjadi ketua keluarga, bertanggungjawab dan secara tidak langsung berkuasa di dalam mengelola menjadi salah satu rakaman yang ingin disampaikan. Dalam siri karya ini juga, pemerhatian pengkarya terhadap penghijrahan, hubungkait pengalaman dengan isu pembawaan buruh pada zaman British dirakamkan. Melalui potret keluarga dan nostalgia ia telah disatukan dalam penggunaan warna hitam – putih yang lebih bersifat nostalgik.
Wong Hoy Cheong/ Dia Kahwin Umur 14 Tahun dan Dapat 14 Orang Anak/ 1994/ Arang dan fotostat di atas kertas/ 190 x 150 sm
Melalui kata ‘harapan’, ianya dilihat sebagai satu kata yang berkaitan dengan doa dan masa hadapan. Pemilihan karya yang mempunyai unsur harapan dikongsi bersama dan nilai tanggungjawab dan inginkan perubahan menjadi titik tolak kata harapan itu sendiri. Karya-karya seperti ‘Siri 48/48’ oleh Noor Azizan Rahman Paiman dalam siri yang ke 36 ada menyatakan kata-kata Latiff Mohidin:
‘Ruang kemerdekaan ku tidaklah begitu luas Cuma 2’ x 3’ dan ada pula batasnya. Maksudku, bidang kanvas yang berbingkai ini tanggungjawabku hari ini. Mengisinya dengan sebaik-baik akal budi…’
Kata-kata harapan yang berkisar tentang tanggungjawab seorang pengkarya seni yang mana pengkarya menjadikan karya itu sebagai satu simbolik kepada ruang kebebasan dan merdekanya diri di dalam melakar sejarah seni. Seperti mana salah satu puisi berbaur kemerdekaan oleh Latiff Mohidin yang bertajuk ‘Songsang’ berbunyi:
Maafkan aku kalau aku sering saja berlaku songsang
Terutama di perayaan tahun seperti hari ini
Apabila semua orang telah sedia duduk aku bangun berdiri
Apabila orang bangun bertepuk aku duduk
Apabila orang ghairah berbincang aku tidur
Apabila orang melepaskan merpati aku tabur padi
Orang lain telah merdeka aku belum
Maafkan aku kalau aku sering saja berlaku songsang
Aku hanya ingin mengingatkan…
Noor Azizan Rahman Paiman/ Latiff Mohidin/ 2005/ Media campuran atas kertas/ 17 x 13 sm
Tafsiran dan harapan seorang pengkarya seni yang menggunakan pelbagai genre di dalam mengolah dan berhubung dengan masyarakat digunakan dalam menyampaikan mesej. Bahasa kesusasteraan dan lakaran Latiff Mohidin bergerak seiring dalam idea atau konsep yang ingin beliau sampaikan.
Berbalik kepada karya siri oleh Azizan Paiman ini, penyataan pendapat, harapan dan kata sinis menjadi sebahagian imej dan rakaman untuk setiap bahagian karya yang dihasilkan. Gabungan imej dari garisan bebas yang membentuk rupa baru telah dimaknakan dengan kata-kata dari penyataan orang-orang tertentu.
Syed Ahmad Jamal, Datuk/ Demostrasi dalam Salji/ 1959/ Cat minyak/ 101 x 132 sm
Dalam karya ‘Demostrasi dalam Salji’ oleh Datuk Syed Ahmad Jamal pula ianya merupakan satu karya yang dihasilkan sewaktu beliau melanjutkan pengajian di Maktab Perguruan, Lancashire, England pada tahun 1958 . Karya yang merakam keadaan waktu itu di mana adanya tunjuk perasaan oleh masyarakat setempat yang berkisarkan tentang semangat global untuk memerdekakan diri dari kolonialisme oleh pelajar-pelajar maktab perguruan Kirby. Pengkarya melihat kejadian ini dari tingkap bilik; tindakan radikal para pelajar menghumban kerusi dan meja dari tingkap dan membakarnya dalam kedinginan salji. Ironisnya rakaman ini telah dilukis sewaktu setahun Malaya mencapai kemerdekaan pada 1957.
Perihal ‘tanah’ adalah satu perkara yang penting di dalam menjadikan maksud merdeka agar lebih bermakna. Tanah yang merujuk kepada tanah air, tempat di mana harapan dan kuasa itu direalisasikan. Perkataan ‘tanah air’ adalah kata yang sempurna untuk digambarkan dalam menyatakan kecintaan pada negara dan bagaimana alam berhubung dengan manusia dalam lingkungan hidup seharian dan juga alam sekitar.
Zulkifli Mohd. Dahalan/ Realiti Berasingan - Suatu Hari di Bumi Larangan/ 1975/ Enamel atas bod
244 x 366 sm
Karya ‘Realiti Berasingan - Sehari di Bumi Larangan’ diungkapkan dari garis-garis terseksa dan pembentuk buruk rupa manusia terhasil dari lanjutan gambaran figuratif Malaysia. Dengan idiom gambaran yang berani, permandangan yang tersumpah mempunyai makhluk berjiwa dari gambaran manusia tanpa pakaian yang mengawal dan dari sini beliau sangat kritis tentang tanggungjawab masa depan manusia dari kesan alam sekitar dan keadaan sosial masyarakat. Karya ini cuba menggambarkan tentang tindakbalas generasi terhadap masyarakat hasil dari pemerhatian keadaan dan peristiwa. Melalui lakaran-lakaran spontan dan garisan ini, ianya membentuk imej imaginasi tersendiri mengingatkan tentang karya oleh Zulkifli Mohd. Dahlan yang mengandungi penduduk anti-kebendaan .
Karya ‘Solomon Bermain Piano di Chin Woo’ oleh Patrick Ng Kah Onn adalah di antara empat karya pertama yang menjadi koleksi awal di Balai Seni Lukis Negara. Karya yang dihadiahkan oleh Majlis Kesenian Malaya pada bulan Ogos 1958 ini adalah salah satu karya penting dan mempunyai tanda pensejarahan tersendiri yang mana pengkarya cuba merakamkan pada waktu itu. Mengingatkan bagaimana pada zaman 1950an sebuah bangunan yang dikenali sebagai Stadium Chin Woo, yang terletak di Jalan Hang Jebat berhampiran dengan Stadium Merdeka, menjadi satu tempat untuk rakyat berkumpul dan menjalankan aktiviti sukan dan juga acara kesenian di dalam medium yang pelbagai. Asas projek telah dirasmikan oleh Duli Yang Maha Mulia Sultan Alam Shah Hishammuddin pada 31hb Ogos 1950 dan Majlis perasmian telah dirasmikan oleh Tuan Yang Terutama, Sir Mc Donald, Pesuruhjaya Tinggi British pada 11hb Disember 1953 dengan disaksikan oleh pemimpin tempatan.
Dalam karya ini rakaman suasana ketika itu, Solomon adalah seorang pemain piano tersohor dari British sedang mendendangkan muzik sambil diperhatikan oleh ramai penonton. Ianya adalah rakaman visual oleh pengkarya seni yang cuba merakamkan bagaimana ruang stadium Chin Woo menjadi tumpuan untuk pelbagai perhimpunan yang bersifat seni dan bagaimana sokongan rakyat dalam meraikan seni. Imej orang ramai yang memenuhi ruang menjadi imej dominan dalam karya.
Mengimbas semula sejarah Chin Woo, ia bermula melalui seni mempertahankan diri yang telah bertapak di Malaya dengan pembinaan sebuah stadium awam. Dan di sinilah ianya menjadi suatu tempat bagi aktiviti rakyat dijalankan dari sebelum negara mencapai merdekaan. Kini tempat berkumpulnya rakyat telah beralih ke stadium Merdeka dan Dataran Merdeka yang mana ruang ini menjadi satu tempat kepada masyarakat berkumpul dan menjalankan aktiviti sosial secara bebas dan lebih terbuka seiring dengan pengisytiharan kemerdekaan dan kepercayaan suara demokrasi.
Patrick Ng Kah Onn/ Solomon Bermain Piano di Chin Woo/ 1953/ Pastel/ 54.5 x 73 sm
Bertitik tolak tentang semangat cintakan negara, karya-karya lain seperti ‘Perjanjian Tanah Melayu’, ‘King house Kuala Lumpur’, ‘Polimek 1986’ oleh Romli Mahmud, foto Chin Peng oleh Yong Poh Seng, ‘Ular Makan Katak Puru’ oleh O.C Edwards, ‘Kurasa Kuasa’ oleh Shahrul Anuar Shaari, ‘Eagle,Crow,Sparrow’ (Helang, Gagak, Lelayang’) oleh Li Chong Chuan, ‘Kuasa dan Kuasa’ oleh Nor Samad, ‘Pembaharuan’ oleh Shirley M.Hall, ‘Sir Henry Gurney’ oleh Harold speed,’ How Risky I am??’ dan ‘Susah Mental Block’ oleh Roslisham Ismail, ‘Some Dreamt of Malaya’ (‘Setengah Orang Mimpi Tentang Malaya’) oleh Wong Hoy Cheong, ‘The Raw Generation’ (‘Generasi Mentah’) oleh Ramlan Abdullah, ‘Siri 48’ oleh Noor Azizan Paiman, ‘The Reformasi Series’ oleh Siew Lee Wong, ‘An Eye For An Eye Will Make The Whole World Go Blind’ (‘Hutang Mata Dibayar Mata Akan Membuat Dunia Jadi Buta’) oleh Ahmad Fuad Osman, ‘Demonstrasi dalam Salji’ oleh Datuk Syed Ahmad Jamal, ‘Perempuan dengan Keamanan’ oleh Liijina, ‘Tanggungjawab’ oleh Hamidah Abdul Rahman, ‘Memohon Kepada Tuhan’ oleh Thawan Duchanee, ‘Sebatang Lilin’ oleh Laura Popenoe, ‘Kebudayaan Malaysia’ oleh Yang Sook Leng, ‘Kekecohan’ oleh Dato’ Ibrahim Hussein, ‘Yang Teragung’ oleh Robert Rauschenberg, ‘Raja Yang Balik Menyelamatkan Permaisuri’ oleh Rev Wipulansara, ‘Army Troop, Japanese troop cycling in Malaysia, Kuala Lumpur’, ‘Orang-orang’ oleh Mustapa Ibrahim, ‘Imigran’ oleh Chong Kit Leong, ‘Once Upon Time in a Far Away Land Of Mexico There Were the Rich and the Poor’ (‘Pada Suatu Masa Dulu di Sebuah Negeri Bernama Mexico Ada Orang Kaya dan Orang Miskin’) oleh Zakaria Ali, ‘Pertunjukan Boneka’ oleh Lim Mu Hue dan ‘Lorong Belakang’ oleh Tan Tee Chie turut dipamerkan bersempena pameran kali ini.
Menghadirkan wajah-wajah pejuang haluan kiri, perjuangan aliran lain yang sedang berlaku di di dalam dan di luar negara adalah intipati karya untuk pameran kali ini. Imej dan isu yang berbaur radikal dan sensitif untuk sesetengah pihak cuba disatukan dalam ruang pameran kali ini menandakan bahawa rakaman sejarah adalah sesuatu yang perlu diberi perhatian yang wajar dalam memahami ruang kehidupan dan menjadi sebahagian rakyat merdeka, dan ia bukanlah mitos yang boleh menyesatkan kefahaman perjuangan. Koleksi pensejarahan melalui karya seni oleh BSVN ini diharap dapat membudayakan semangat cintakan negara dengan memaparkan bagaimana konflik sekitar kehidupan ditangani sewaktu kemerdekaan dan kebebasan itu ingin dicapai.
Kenyataan dan fakta yang mengarah perjuangan diri dan kumpulan masyarakat yang menuju agenda kehidupan yang lebih baik dan bebas dari penjajah atau kongkongan telah dirakamkan oleh pengkarya-pengkarya Malaysia yang cuba bertindak balas atas apa yang mereka fahami melalui pelbagai medium seni melalui ekspresi seni masing-masing. Sepertimana kata Robert Rauchenberg’,
‘Peranan artist adalah menjadi saksi terhadap sejarah masa’
Intan Rafiza
Rujukan bacaan:
1. Seni Lukis Malaysia-25 Tahun, 1983, Syed Ahmad Jamal, United Selangor Press.
2. Dewan Sastera, September 1974, Imej Timur, Keributan Politik Imperialis dan Mitos Penjajah, Ismail Abdullah.
3. Suluh Rakyat, Ogos 1987,Tokoh Nasional Yang Memperjuangkan Tanahair.
4. Dialog Seni Tampak, 1985,Nathan Knobler (Terjemahan oleh Zakaria Ali), Dewan Bahasa Dan Pustaka.
5. Art Fundamentals – Theory and Practice, 1998, Edisi Ke-8, McGraw-Hill Companies.
Rujukan laman web:
1. http://en.wikipedia.org/wiki/Art#Motivated_functions_of_art
2. http://www.chinwoo.com/history.htm
3. http://ms.wikipedia.org/wiki/Tunku_Abdul_Rahman_Putra_Al-Haj
4. http://ms.wikipedia.org/wiki/Chin_Peng
ESSAY 1 : Nur Zahirah
I just realized that I haven’t done any write up since I started working in art gallery. No time? It’s just an excuse!
After I graduated from Bachelor of Art & Design in UiTM Shah Alam in year 2010, I was unsure what I want to do but I am certain that I want to work in art industry and working in office hours; 9am to 6pm. I heard people in art industry always working until late night and even working on the weekend!
I browsed through internet and I found 2 galleries that fit my requirement (working in office hours) which is Art Village and Purple House. My first choice is Art Village because they have a branch in Bangsar which I find it very attractive because I love the idea working in Bangsar. :D
*Kindly be informed that I was so naïve at that time.
So I compiled my resume with cover letter and email to artvillage@teng.com.my and waited for them to reply. If they didn’t reply within 1 week, I will try to email the other gallery. After couple days the owner finally called for an interview.
It went well I think.. and the result: I had to work in Kelana Jaya because they just closed the Bangsar branch with working hours from 9am to 6pm – which may sound like YAYYY except that my working days are included SATURDAY AND SUNDAY.
Now it has been almost three years working in Malaysian Art Industry. Still young compare to the others. I’m immune to work extra hours and weekend.
Future plan? Still in planning.
I see a lot of opportunity and potential. You can even create your own opportunity because Malaysian Art Industry is still small and everyone try and error. The most important thing is you must have the passion and you can go far.
Nur Zahirah Abdul Samad
29 August 2014
After I graduated from Bachelor of Art & Design in UiTM Shah Alam in year 2010, I was unsure what I want to do but I am certain that I want to work in art industry and working in office hours; 9am to 6pm. I heard people in art industry always working until late night and even working on the weekend!
I browsed through internet and I found 2 galleries that fit my requirement (working in office hours) which is Art Village and Purple House. My first choice is Art Village because they have a branch in Bangsar which I find it very attractive because I love the idea working in Bangsar. :D
*Kindly be informed that I was so naïve at that time.
So I compiled my resume with cover letter and email to artvillage@teng.com.my and waited for them to reply. If they didn’t reply within 1 week, I will try to email the other gallery. After couple days the owner finally called for an interview.
It went well I think.. and the result: I had to work in Kelana Jaya because they just closed the Bangsar branch with working hours from 9am to 6pm – which may sound like YAYYY except that my working days are included SATURDAY AND SUNDAY.
Now it has been almost three years working in Malaysian Art Industry. Still young compare to the others. I’m immune to work extra hours and weekend.
Future plan? Still in planning.
I see a lot of opportunity and potential. You can even create your own opportunity because Malaysian Art Industry is still small and everyone try and error. The most important thing is you must have the passion and you can go far.
Nur Zahirah Abdul Samad
29 August 2014
ESSAY 1 : Sharmin Parameswaran
Curate, ‘...to curate’, ‘...a curator’. Meanings related closely to the arts, and synonymous with the idea of ‘putting on a show’, starring artist(s). In Malaysia, at least, I find that this definition holds tight, with many exhibitions (shows) are organised with the artist in mind, followed by his/her works, after which invitations are sent out to the public audience, inviting them for an opening for the show.
Ideas are haphazard, and more than likely progress in a non-linear flow. As artists, ideas are bountiful, representing self thoughts and expressions, presented conceptually, perfomatively, or through tangible materials. To curate with the artist, would then require a curator, open to absorbing the process, whilst simultaneously thinking of providing tools for the public audiences to access the art (or not, if the artist prefers). The ‘show’ does not star the artist only, but includes the ideas, space, works, combining into the experience of the public viewer walking into the show.
‘Welcome. This show is going to make a difference in your life’, is what I would want to think or feel with each art experience I encounter. In Malaysian art exhibitions, such shifts are rare and far-between. I question the why’s of this scenario - the inflated perception of ‘art for sale’, the lack of funding for the arts, the supposed lack of audiences and new collectors, the majority comfortable middle-class lifestyle that permeates our society. After all, doing differently, and changing processes does take work, and do we need to do it today?
Of late, I have started to take note and gravitate towards artist owned curated shows. The artist(s), choosing to step into a curatorial role, makes the choice to help shape their own creative thoughts and processes, over and above their art. Not an easy task, but I do applaud and appreciate the push against normal, and more importantly find myself enjoying such shows. These artist run shows might not be as structured and neatly pulled through as what goes on in the galleries, however that would only mean as an audience you would have to get more involved personally to follow and think of what is going on around you.
It takes five to ten minutes to walk around a gallery space, looking at art on a pre-defined eye level. With artist run shows, more likely than not, it is not in a common four wall gallery, challenging the artist(s) to look beyond the walls in presenting their work.
TBC
Ideas are haphazard, and more than likely progress in a non-linear flow. As artists, ideas are bountiful, representing self thoughts and expressions, presented conceptually, perfomatively, or through tangible materials. To curate with the artist, would then require a curator, open to absorbing the process, whilst simultaneously thinking of providing tools for the public audiences to access the art (or not, if the artist prefers). The ‘show’ does not star the artist only, but includes the ideas, space, works, combining into the experience of the public viewer walking into the show.
‘Welcome. This show is going to make a difference in your life’, is what I would want to think or feel with each art experience I encounter. In Malaysian art exhibitions, such shifts are rare and far-between. I question the why’s of this scenario - the inflated perception of ‘art for sale’, the lack of funding for the arts, the supposed lack of audiences and new collectors, the majority comfortable middle-class lifestyle that permeates our society. After all, doing differently, and changing processes does take work, and do we need to do it today?
Of late, I have started to take note and gravitate towards artist owned curated shows. The artist(s), choosing to step into a curatorial role, makes the choice to help shape their own creative thoughts and processes, over and above their art. Not an easy task, but I do applaud and appreciate the push against normal, and more importantly find myself enjoying such shows. These artist run shows might not be as structured and neatly pulled through as what goes on in the galleries, however that would only mean as an audience you would have to get more involved personally to follow and think of what is going on around you.
It takes five to ten minutes to walk around a gallery space, looking at art on a pre-defined eye level. With artist run shows, more likely than not, it is not in a common four wall gallery, challenging the artist(s) to look beyond the walls in presenting their work.
TBC
ESSAY 1 : Shaarim Sahat
Latar Belakang
Saya datang dari keluarga yang sederhana dan bermastautin di Kuala Lumpur. Bapa saya seorang kakitangan kerajaan dan ibu pula seorang surirumah sepenuh masa. Saya mula melukis sebelum di bangku sekolah lagi. Seingatan saya ketika mula tahu memegang pensil lagi, saya sudah mula melukis. Pengaruh abang begitu besar ketika itu. Malangnya keluarga kami bukanlah keluarga yang menggalakkan minat anak-anak ke arah seni.
Selepas STPM (1987) saya ingin memohon Kursus Seni Halus yang ditawarkan di UITM tetapi mendapat bantahan dari keluarga. Seperti remaja-remaja lain, jiwa pemberontak begitu kuat dalam diri saya. Oleh kerana keluarga tidak membenarkan saya mengikuti kursus yang diminati, saya mengambil keputusan tidak meneruskan hasrat untuk terus belajar. Setahun saya menganggur dan ia mendatangkan kemarahan bapa saya.
Pada 1989 saya berkerja di WARUNG mamak bawah pokok di depan sebuah kilang di Taman Midah, Cheras. Pekerjaan ini saya perolehi secara kebetulan ketika saya berehat minum di kedai tersebut selepas penat mencari kerja di kilang-kilang sekitar. Malangnya tindakan saya ini juga mendatangkan kemarahan bapa ketika itu. Akhirnya selepas hampir setahun bekerja di situ saya berhenti dan bekerja di sebuah kilang di Jalan Tandang, Petaling Jaya sebagai pemandu kren. Dari pemandu kren, saya ditukarkan ke bahagian makmal dan bekerja sebagai pembantu makmal. Selepas hampir 3 tahun di situ, saya bertukar kerja ke Subang Jaya pula dan bekerja sebagai Pengawal Kualiti di kilang tersebut, sehingga saya dinaikkan pangkat sebagai Penyelia.
Apabila tuan punya syarikat ingin mengembangkan perniagaannya – dengan membentuk sebuah syarikat Partition/Sesekat Besi yang boleh diubah suai, saya juga turut berpindah ke syarikat baru itu. Bermula sebagai Penyelia Kawalan Mutu dan membantu syarikat mendapatkan lesen kualiti ISO. Selepas itu saya dipindahkan ke bahagian Teknikal dengan menjawat jawatan Draftman/Pelukis Pelan. Setelah setahun di bahagian ini saya dinaikkan pangkat sebagai Ketua Bahagian Teknikal. Antara projek besar yang saya dipertanggungjawabkan ketika itu adalah projek pejabat Petronas di KLCC, pejabat kerajaan Putrajaya Parcel C, D dan seterusnya. Beberapa projek lain di luar negara antaranya Hospital kanak-kanak Dubai dan beberapa projek di negara-negara lain.
Selepas hampir 6 tahun di syarikat tersebut, saya ditawarkan pekerjaan di salah sebuah syarikat bumiputera dengan jawatan sebagai Pengurus Projek. Setelah setahun bekerja di syarikat ini, negara dilanda masalah ekonomi dan syarikat ini juga terkena tempiasnya. Setelah berfikir panjang, saya mengambil keputusan untuk berhenti kerja selepas beberapa bulan tidak menerima gaji.
Pada tahun1999, bermulalah era baru saya sebagai seorang peniaga dan usahawan. Walaupun saya memulakan perniagaan ubahsuai rumah/pejabat ketika ekonomi meleset dan ketika itu mempunyai 2 orang anak yang masih kecil namun saya berjaya melalui musim sukar tersebut. Saya kembali melukis ketika itu bagi menghilangkan tekanan perasaan dan ekonomi.
Selepas beberapa tahun syarikat saya ditubuhkan, kami sekeluarga mula merasai sedikit keselesaan. Saya mula mengambil kerja-kerja/projek-projek yang lebih besar dari kerajaan, kebanyakkannya adalah kerja-kerja hiasan dalaman/ interior work. Saya semakin banyak masa untuk melukis dan semua lukisan-lukisan itu saya berikan kepada kenalan-kenalan yang berminat secara percuma.
Pada 2005, saya mula merasakan yang saya perlu kembali fokus untuk mencapai cita-cita semasa kecil untuk menjadi seorang pelukis yang terkenal. Pada tahun 2006 saya membuka sebuah kedai lukisan kecil yang diberi nama SA’nd Gallery di Galaxy Ampang. Dibantu secara sambilan oleh rakan-rakan saya. Kedai ini juga menyediakan perkhidmatan kelas lukisan untuk remaja dan kanak-kanak. Pelajar kami bukan sahaja terdiri dari rakyat Malaysia sahaja, terdapat juga pelajar dari Korea dan Jepun.
Pada tahun 2008 saya berkenalan dengan seorang pelukis senior yang terkenal iaitu saudara Rafie Rahman dan beliau menawarkan saya untuk bersama-sama beliau menjadi orang pertama berkarya di Peti Seni, Balai Seni Visual Negara. Saya menerimanya dan pada tahun yang sama saya menutup kedai lukisan saya untuk fokus berkarya di Peti Seni. Tidak lama kemudian seorang lagi pelukis menyertai kami, beliau adalah saudara Amiruddin Ariffin. Dalam masa yang sama, saya juga ditawarkan oleh seorang kenalan menjadi editor untuk sebuah majalah bolasepak bulanan. Dari situ saya menjadi pelopor untuk beberapa buah majalah lain termasuk komik juga untuk syarikat tersebut.
Saya banyak belajar teknik-teknik melukis secara tradisional dengan kedua-dua pelukis ini (walaupun tidak secara formal – kebanyakan masa adalah dengan pemerhatian sahaja), malah rakan-rakan mereka yang melawat kami terdiri dari pelukis tersohor juga memberikan satu pengalaman yang berharga kepada saya. Dari pengalaman-pengalaman ini saya lihat kebanyakan pelukis-pelukis veteran masih terus bergelut dalam mengharungi kehidupan kerana mereka kekurangan pengetahuan dalam bidang perniagaan terutamanya dalam mempromosikan diri dan bakat mereka.
Dengan itu saya mengambil keputusan untuk melanjutkan pelajaran dalam bidang perniagaan di salah sebuah kolej di bawah naungan UUM secara sambilan, walaupun ketika itu usia saya telah lebih 40 tahun. (Alhamdulillah keputusan CGPA saya sangat baik iaitu 3.75) Saya merasakan pelukis-pelukis perlu didedahkan mengenai asas perniagaan supaya mereka lebih mudah memahami bagaimana cara yang lebih baik untuk ‘menjual’ bakat dan karya-karya mereka.
Pada tahun 2009 (kalau tidak salah), saya berkenalan pula dengan seorang pelukis muda yang berjaya iaitu Raduan Man. Beliau seorang artist yang menghasilkan karya dengan menggunakan teknik ‘wood print making’ atau ‘membuat cetakan kayu’. (Perlu dinyatakan di sini bahawa saya telah pun menghasilkan karya-karya cetakan sebelum mengenali beliau lagi) Beliau menjadi ‘penasihat’ saya dalam menghasilkan karya-karya ketika itu. Saya selalunya membawa karya-karya saya untuk dikritik oleh beliau pada tengah malam hinggalah subuh hari kerana itulah masa beliau berkerja. Melalui Raduan Man pula saya mengenali pelukis-pelukis yang sedang mengukir nama ketika itu antaranya Najib Ahmad Bamadhaj, Arikwibowo Amril dan beberapa pelukis yang telahpun dikenali dalam arus seni ini antaranya Yusri Sulaiman dan Fauzul Yusri.
Dengan mengenali ‘pelukis-pelukis era lama dan baru’, ia sedikit sebanyak mempengaruhi teknik-teknik yang saya hasilkan di dalam karya-karya kebelakangan ini. Semua teknik yang saya ketahui dipersembahkan ketika menghasilkan karya. Sebutlah apa sahaja - dari teknik ‘stansil, transfer image, print making’ dan sudah tentu melukis secara tradisional; semuanya ada dalam setiap karya yang saya hasilkan.
Setelah beberapa tahun menjadi pelukis sepenuh masa, akhirnya tahun 2013 adalah tahun yang mungkin akan menjadi tahun bertuah kepada saya. In sya Allah… Beberapa galeri mula menawarkan peluang untuk saya mengenengahkan bakat yang ada ini. Hasrat saya semoga perit jerih yang dilalui tidak sia-sia. Keluarga telah banyak mengorbankan masa yang saya ‘pinjam’ dari mereka, semoga saya dapat ‘membayarnya’ kembali.
Diharap segalanya akan berjalan lancar dan seperti manusia lain yang berwawasan, saya juga mempunyai misi sendiri. Misi yang pertamanya adalah untuk menyedarkan pengkarya betapa pentingnya mengetahui asas perniagaan bagi perkembangan kerier mereka. Pengkarya adalah seorang peniaga, maka mereka perlu mengetahui strategi dan pemasaran dengan betul. Kata-kata bahawa ‘pelukis hanya perlu melukis sahaja’ adalah sudah tidak relevan lagi, apatah lagi saingan sudah semakin sengit di luar sana. Page 2/3
Misi kedua saya adalah untuk memupuk minat kanak-kanak dalam bidang seni. Ini sudah saya mulakan beberapa tahun lalu hingga kini dengan menjalankan kelas-kelas lukisan. Kita bukan mengharapkan semua kanak-kanak ini bakal menjadi seorang pelukis bila besar nanti.
Cuma harapan saya minat yang telah dipupuk sedari kecil akan menjadikan mereka bakal seorang ‘collector’ walaupun mereka sudah bergelar sebagai seorang doktor, jurutera, akauntan atau dalam bidang professional yang lain. Setidak-tidaknya mereka akan membeli karya yang mempunyai nilai artistik dan bukan hanya membeli potret diri ataupun karikatur wajah sendiri sahaja. Saya impikan sebuah sekolah lukisan saya sendiri.
Misi ketiga adalah menjadi salah seorang yang terlibat dalam pengurusan dan perkembangan dunia seni visual itu sendiri, selain dari hanya menjadi pengkarya. Saya ingin sekali mengetahui selok belok bagaimana untuk menjadi seorang kurator. Walaupun mengenali saudara Faizal Sidik (kurator BSVN) secara peribadi, namun saya belum pernah berpeluang untuk menimba ilmu dari beliau kerana kesibukan kami berdua. Mungkin menjadi kurator adalah langkah permulaan sebelum saya meneruskan cita-cita untuk menjadi ‘collector’ yang aktif seterusnya mempunyai galeri saya sendiri.
Misi terakhir saya adalah untuk menyatukan semua pengkarya yang mempunyai ‘ism’ yang berlainan, era yang berbeza serta mempunyai jurang yang besar dalam pendidikan seni. Dari penglihatan orang awam, dunia seni visual di negara ini kelihatan tenang tanpa konflik. Namun sebagai pengkarya yang berada ‘di tengah-tengah’ jurang yang ada ini, saya sendiri merasakan bahang apabila mereka mula mengkritik pengkarya yang bukan dari ‘golongan yang sama’ dengan mereka. ‘Perang dingin’ yang berlarutan ini mungkin kelihatan tiada titik penghujung dan penyelesaian. Selain dari galeri awam yang mengadakan pameran terbuka, agak sukar untuk melihat suatu pameran yang mempunyai kesemua ‘ism’ di dalamnya. Jika adapun galeri swasta yang mengadakan pameran sebegini, ia boleh dibilang dengan jari. Galeri swasta perlu memainkan peranan besar dalam menangani masalah ini.
Salah satu punca semua ini adalah datang dari ego pelukis itu sendiri yang merasakan ‘ism’nya adalah lebih baik dari ‘ism’ yang lain. Malah kenyataan demi kenyataan yang sering dikeluarkan mungkin mengguris hati pengkarya yang berkarya dengan ‘ism’ yang berlainan. Pengkarya ‘self-taught’ sering berbangga-bangga dengan kebolehan mereka. Yang mendapatkan pendidikan formal pula sering mempertikaikan harga yang diletakkan oleh pengkarya ‘self-taught’ ini. Yang veteran amat sukar untuk bersama-sama dalam sebuah pameran dengan pengkarya yang jauh lebih muda. Begitu juga yang ‘junior’, memilih-memilih untuk bersama pengkarya veteran apabila diberi peluang untuk bersama dalam suatu pameran. Mungkin mereka mempunyai strateginya sendiri atau ego masing-masing menguasai keputusan mereka.
Apapun misi dan niat murni saya hanya akan dapat dipenuhi apabila saya berjaya dalam bidang seni ini nanti. Kejayaan itu kelak akan menjadi bukti bahawa strategi dan pengetahuan dalam perniagaan penting apabila kita mahu menceburi bidang ini. Bidang seni sudah menjadi industri, walaupun tidak semua pengkarya menerima istilah ini namun ia akan tetap kita tempuhi. Siapa ‘lambat’ dia akan tertinggal. Buangkan ego jika kita mahu maju dan bersatu.
Teknik Styrofoam Cut Print
Apabila menyentuh mengenai ‘print making’, saya menggunakan bahan perantara yang berbeza dari pelukis-pelukis lain. Saya menggunakan ‘styrofoam’bagi menggantikan kayu, lino atau plat besi. Bahan ini saya gunakan kerana ia mudah disimpan serta ringan, cuma yang menjadi cabaran kepada saya adalah ketika proses mengukir kerana ia mudah patah. Ia juga tidak seperti kayu/besi kerana ia akan semakin menipis apabila proses cetakan dilakukan berulang-ulang. Namun ia bukan suatu masalah kepada saya kerana saya selalunya menghasilkan ‘mono print’ iaitu cetakan satu (1) karya sahaja untuk sebuah acuan.
Memperkatakan mengenai proses menghasilkan karya pula, selalunya saya akan melakarkan setiap karya yang akan saya hasilkan terlebih dahulu. Kemudian dari lakaran tersebut akan saya lukiskan pada kertas mengikut saiz yang dikehendaki (‘Main subjek’). Warna dimasukkan sebelum lukisan tersebut dipindah ke atas kanvas yang sudah mempunyai latarbelakang. Tidak seperti proses cetakan yang lain, hanya masukkan warna hitam sahaja. Kemudian beberapa ‘sub subjek’ akan saya masukan samada melalui teknik stansil, transfer image, print making dan lukisan biasa.
Alat untuk mengukir juga adalah berlainan. Selain menggunakan Styrofoam cutter, saya juga menggunakan solder wire untuk mengukir di atas Styrofoam.
Contoh karya-karya yang saya gunakan teknik ini adalah Beggar–Hope2, Jutawan Metropolitan, Nostalgia, Anakku dan Angkasawan dan text-text yang saya hasilkan dalam setiap karya.
Saya datang dari keluarga yang sederhana dan bermastautin di Kuala Lumpur. Bapa saya seorang kakitangan kerajaan dan ibu pula seorang surirumah sepenuh masa. Saya mula melukis sebelum di bangku sekolah lagi. Seingatan saya ketika mula tahu memegang pensil lagi, saya sudah mula melukis. Pengaruh abang begitu besar ketika itu. Malangnya keluarga kami bukanlah keluarga yang menggalakkan minat anak-anak ke arah seni.
Selepas STPM (1987) saya ingin memohon Kursus Seni Halus yang ditawarkan di UITM tetapi mendapat bantahan dari keluarga. Seperti remaja-remaja lain, jiwa pemberontak begitu kuat dalam diri saya. Oleh kerana keluarga tidak membenarkan saya mengikuti kursus yang diminati, saya mengambil keputusan tidak meneruskan hasrat untuk terus belajar. Setahun saya menganggur dan ia mendatangkan kemarahan bapa saya.
Pada 1989 saya berkerja di WARUNG mamak bawah pokok di depan sebuah kilang di Taman Midah, Cheras. Pekerjaan ini saya perolehi secara kebetulan ketika saya berehat minum di kedai tersebut selepas penat mencari kerja di kilang-kilang sekitar. Malangnya tindakan saya ini juga mendatangkan kemarahan bapa ketika itu. Akhirnya selepas hampir setahun bekerja di situ saya berhenti dan bekerja di sebuah kilang di Jalan Tandang, Petaling Jaya sebagai pemandu kren. Dari pemandu kren, saya ditukarkan ke bahagian makmal dan bekerja sebagai pembantu makmal. Selepas hampir 3 tahun di situ, saya bertukar kerja ke Subang Jaya pula dan bekerja sebagai Pengawal Kualiti di kilang tersebut, sehingga saya dinaikkan pangkat sebagai Penyelia.
Apabila tuan punya syarikat ingin mengembangkan perniagaannya – dengan membentuk sebuah syarikat Partition/Sesekat Besi yang boleh diubah suai, saya juga turut berpindah ke syarikat baru itu. Bermula sebagai Penyelia Kawalan Mutu dan membantu syarikat mendapatkan lesen kualiti ISO. Selepas itu saya dipindahkan ke bahagian Teknikal dengan menjawat jawatan Draftman/Pelukis Pelan. Setelah setahun di bahagian ini saya dinaikkan pangkat sebagai Ketua Bahagian Teknikal. Antara projek besar yang saya dipertanggungjawabkan ketika itu adalah projek pejabat Petronas di KLCC, pejabat kerajaan Putrajaya Parcel C, D dan seterusnya. Beberapa projek lain di luar negara antaranya Hospital kanak-kanak Dubai dan beberapa projek di negara-negara lain.
Selepas hampir 6 tahun di syarikat tersebut, saya ditawarkan pekerjaan di salah sebuah syarikat bumiputera dengan jawatan sebagai Pengurus Projek. Setelah setahun bekerja di syarikat ini, negara dilanda masalah ekonomi dan syarikat ini juga terkena tempiasnya. Setelah berfikir panjang, saya mengambil keputusan untuk berhenti kerja selepas beberapa bulan tidak menerima gaji.
Pada tahun1999, bermulalah era baru saya sebagai seorang peniaga dan usahawan. Walaupun saya memulakan perniagaan ubahsuai rumah/pejabat ketika ekonomi meleset dan ketika itu mempunyai 2 orang anak yang masih kecil namun saya berjaya melalui musim sukar tersebut. Saya kembali melukis ketika itu bagi menghilangkan tekanan perasaan dan ekonomi.
Selepas beberapa tahun syarikat saya ditubuhkan, kami sekeluarga mula merasai sedikit keselesaan. Saya mula mengambil kerja-kerja/projek-projek yang lebih besar dari kerajaan, kebanyakkannya adalah kerja-kerja hiasan dalaman/ interior work. Saya semakin banyak masa untuk melukis dan semua lukisan-lukisan itu saya berikan kepada kenalan-kenalan yang berminat secara percuma.
Pada 2005, saya mula merasakan yang saya perlu kembali fokus untuk mencapai cita-cita semasa kecil untuk menjadi seorang pelukis yang terkenal. Pada tahun 2006 saya membuka sebuah kedai lukisan kecil yang diberi nama SA’nd Gallery di Galaxy Ampang. Dibantu secara sambilan oleh rakan-rakan saya. Kedai ini juga menyediakan perkhidmatan kelas lukisan untuk remaja dan kanak-kanak. Pelajar kami bukan sahaja terdiri dari rakyat Malaysia sahaja, terdapat juga pelajar dari Korea dan Jepun.
Pada tahun 2008 saya berkenalan dengan seorang pelukis senior yang terkenal iaitu saudara Rafie Rahman dan beliau menawarkan saya untuk bersama-sama beliau menjadi orang pertama berkarya di Peti Seni, Balai Seni Visual Negara. Saya menerimanya dan pada tahun yang sama saya menutup kedai lukisan saya untuk fokus berkarya di Peti Seni. Tidak lama kemudian seorang lagi pelukis menyertai kami, beliau adalah saudara Amiruddin Ariffin. Dalam masa yang sama, saya juga ditawarkan oleh seorang kenalan menjadi editor untuk sebuah majalah bolasepak bulanan. Dari situ saya menjadi pelopor untuk beberapa buah majalah lain termasuk komik juga untuk syarikat tersebut.
Saya banyak belajar teknik-teknik melukis secara tradisional dengan kedua-dua pelukis ini (walaupun tidak secara formal – kebanyakan masa adalah dengan pemerhatian sahaja), malah rakan-rakan mereka yang melawat kami terdiri dari pelukis tersohor juga memberikan satu pengalaman yang berharga kepada saya. Dari pengalaman-pengalaman ini saya lihat kebanyakan pelukis-pelukis veteran masih terus bergelut dalam mengharungi kehidupan kerana mereka kekurangan pengetahuan dalam bidang perniagaan terutamanya dalam mempromosikan diri dan bakat mereka.
Dengan itu saya mengambil keputusan untuk melanjutkan pelajaran dalam bidang perniagaan di salah sebuah kolej di bawah naungan UUM secara sambilan, walaupun ketika itu usia saya telah lebih 40 tahun. (Alhamdulillah keputusan CGPA saya sangat baik iaitu 3.75) Saya merasakan pelukis-pelukis perlu didedahkan mengenai asas perniagaan supaya mereka lebih mudah memahami bagaimana cara yang lebih baik untuk ‘menjual’ bakat dan karya-karya mereka.
Pada tahun 2009 (kalau tidak salah), saya berkenalan pula dengan seorang pelukis muda yang berjaya iaitu Raduan Man. Beliau seorang artist yang menghasilkan karya dengan menggunakan teknik ‘wood print making’ atau ‘membuat cetakan kayu’. (Perlu dinyatakan di sini bahawa saya telah pun menghasilkan karya-karya cetakan sebelum mengenali beliau lagi) Beliau menjadi ‘penasihat’ saya dalam menghasilkan karya-karya ketika itu. Saya selalunya membawa karya-karya saya untuk dikritik oleh beliau pada tengah malam hinggalah subuh hari kerana itulah masa beliau berkerja. Melalui Raduan Man pula saya mengenali pelukis-pelukis yang sedang mengukir nama ketika itu antaranya Najib Ahmad Bamadhaj, Arikwibowo Amril dan beberapa pelukis yang telahpun dikenali dalam arus seni ini antaranya Yusri Sulaiman dan Fauzul Yusri.
Dengan mengenali ‘pelukis-pelukis era lama dan baru’, ia sedikit sebanyak mempengaruhi teknik-teknik yang saya hasilkan di dalam karya-karya kebelakangan ini. Semua teknik yang saya ketahui dipersembahkan ketika menghasilkan karya. Sebutlah apa sahaja - dari teknik ‘stansil, transfer image, print making’ dan sudah tentu melukis secara tradisional; semuanya ada dalam setiap karya yang saya hasilkan.
Setelah beberapa tahun menjadi pelukis sepenuh masa, akhirnya tahun 2013 adalah tahun yang mungkin akan menjadi tahun bertuah kepada saya. In sya Allah… Beberapa galeri mula menawarkan peluang untuk saya mengenengahkan bakat yang ada ini. Hasrat saya semoga perit jerih yang dilalui tidak sia-sia. Keluarga telah banyak mengorbankan masa yang saya ‘pinjam’ dari mereka, semoga saya dapat ‘membayarnya’ kembali.
Diharap segalanya akan berjalan lancar dan seperti manusia lain yang berwawasan, saya juga mempunyai misi sendiri. Misi yang pertamanya adalah untuk menyedarkan pengkarya betapa pentingnya mengetahui asas perniagaan bagi perkembangan kerier mereka. Pengkarya adalah seorang peniaga, maka mereka perlu mengetahui strategi dan pemasaran dengan betul. Kata-kata bahawa ‘pelukis hanya perlu melukis sahaja’ adalah sudah tidak relevan lagi, apatah lagi saingan sudah semakin sengit di luar sana. Page 2/3
Misi kedua saya adalah untuk memupuk minat kanak-kanak dalam bidang seni. Ini sudah saya mulakan beberapa tahun lalu hingga kini dengan menjalankan kelas-kelas lukisan. Kita bukan mengharapkan semua kanak-kanak ini bakal menjadi seorang pelukis bila besar nanti.
Cuma harapan saya minat yang telah dipupuk sedari kecil akan menjadikan mereka bakal seorang ‘collector’ walaupun mereka sudah bergelar sebagai seorang doktor, jurutera, akauntan atau dalam bidang professional yang lain. Setidak-tidaknya mereka akan membeli karya yang mempunyai nilai artistik dan bukan hanya membeli potret diri ataupun karikatur wajah sendiri sahaja. Saya impikan sebuah sekolah lukisan saya sendiri.
Misi ketiga adalah menjadi salah seorang yang terlibat dalam pengurusan dan perkembangan dunia seni visual itu sendiri, selain dari hanya menjadi pengkarya. Saya ingin sekali mengetahui selok belok bagaimana untuk menjadi seorang kurator. Walaupun mengenali saudara Faizal Sidik (kurator BSVN) secara peribadi, namun saya belum pernah berpeluang untuk menimba ilmu dari beliau kerana kesibukan kami berdua. Mungkin menjadi kurator adalah langkah permulaan sebelum saya meneruskan cita-cita untuk menjadi ‘collector’ yang aktif seterusnya mempunyai galeri saya sendiri.
Misi terakhir saya adalah untuk menyatukan semua pengkarya yang mempunyai ‘ism’ yang berlainan, era yang berbeza serta mempunyai jurang yang besar dalam pendidikan seni. Dari penglihatan orang awam, dunia seni visual di negara ini kelihatan tenang tanpa konflik. Namun sebagai pengkarya yang berada ‘di tengah-tengah’ jurang yang ada ini, saya sendiri merasakan bahang apabila mereka mula mengkritik pengkarya yang bukan dari ‘golongan yang sama’ dengan mereka. ‘Perang dingin’ yang berlarutan ini mungkin kelihatan tiada titik penghujung dan penyelesaian. Selain dari galeri awam yang mengadakan pameran terbuka, agak sukar untuk melihat suatu pameran yang mempunyai kesemua ‘ism’ di dalamnya. Jika adapun galeri swasta yang mengadakan pameran sebegini, ia boleh dibilang dengan jari. Galeri swasta perlu memainkan peranan besar dalam menangani masalah ini.
Salah satu punca semua ini adalah datang dari ego pelukis itu sendiri yang merasakan ‘ism’nya adalah lebih baik dari ‘ism’ yang lain. Malah kenyataan demi kenyataan yang sering dikeluarkan mungkin mengguris hati pengkarya yang berkarya dengan ‘ism’ yang berlainan. Pengkarya ‘self-taught’ sering berbangga-bangga dengan kebolehan mereka. Yang mendapatkan pendidikan formal pula sering mempertikaikan harga yang diletakkan oleh pengkarya ‘self-taught’ ini. Yang veteran amat sukar untuk bersama-sama dalam sebuah pameran dengan pengkarya yang jauh lebih muda. Begitu juga yang ‘junior’, memilih-memilih untuk bersama pengkarya veteran apabila diberi peluang untuk bersama dalam suatu pameran. Mungkin mereka mempunyai strateginya sendiri atau ego masing-masing menguasai keputusan mereka.
Apapun misi dan niat murni saya hanya akan dapat dipenuhi apabila saya berjaya dalam bidang seni ini nanti. Kejayaan itu kelak akan menjadi bukti bahawa strategi dan pengetahuan dalam perniagaan penting apabila kita mahu menceburi bidang ini. Bidang seni sudah menjadi industri, walaupun tidak semua pengkarya menerima istilah ini namun ia akan tetap kita tempuhi. Siapa ‘lambat’ dia akan tertinggal. Buangkan ego jika kita mahu maju dan bersatu.
Teknik Styrofoam Cut Print
Apabila menyentuh mengenai ‘print making’, saya menggunakan bahan perantara yang berbeza dari pelukis-pelukis lain. Saya menggunakan ‘styrofoam’bagi menggantikan kayu, lino atau plat besi. Bahan ini saya gunakan kerana ia mudah disimpan serta ringan, cuma yang menjadi cabaran kepada saya adalah ketika proses mengukir kerana ia mudah patah. Ia juga tidak seperti kayu/besi kerana ia akan semakin menipis apabila proses cetakan dilakukan berulang-ulang. Namun ia bukan suatu masalah kepada saya kerana saya selalunya menghasilkan ‘mono print’ iaitu cetakan satu (1) karya sahaja untuk sebuah acuan.
Memperkatakan mengenai proses menghasilkan karya pula, selalunya saya akan melakarkan setiap karya yang akan saya hasilkan terlebih dahulu. Kemudian dari lakaran tersebut akan saya lukiskan pada kertas mengikut saiz yang dikehendaki (‘Main subjek’). Warna dimasukkan sebelum lukisan tersebut dipindah ke atas kanvas yang sudah mempunyai latarbelakang. Tidak seperti proses cetakan yang lain, hanya masukkan warna hitam sahaja. Kemudian beberapa ‘sub subjek’ akan saya masukan samada melalui teknik stansil, transfer image, print making dan lukisan biasa.
Alat untuk mengukir juga adalah berlainan. Selain menggunakan Styrofoam cutter, saya juga menggunakan solder wire untuk mengukir di atas Styrofoam.
Contoh karya-karya yang saya gunakan teknik ini adalah Beggar–Hope2, Jutawan Metropolitan, Nostalgia, Anakku dan Angkasawan dan text-text yang saya hasilkan dalam setiap karya.
Anakku dan Angkasawan (dalam pembikinan)
ESSAY 1 : Diana Baharudin
MY ART JOURNEY
As long as I remember, I have always been captivated with the subject of art although unfortunately this interest had not been nurtured and pursued passionately. It had been buried as I was eager to explore and experiment with different interest and hobbies. Nonetheless, art has been haunting and stalking me throughout my life. As I reminisce several divine encounters made me realize that it is a waste for not acknowledging how much art has contributed in the overall aspects of our lives. I see art in humanity, nature, religion, history, civilization, culture, architecture, sculpture, film, music and so on.
I recall my first exposure to art; I was about six years old, my father send me and my brother to take art lessons in one of the art centre for kids in Bintulu, Sarawak the city where we grew up. I was told by the art instructor to draw what I liked in the classroom. I looked around and there I spotted a medium size brown clay vase with a purple flower standing on the table. I was immediately drawn to it.
Two hours passed, we are asked to put down our stationery. As watercolour was the material that I chose, I put down my brush and smiled happily at my end result. I was so excited when my drawing block was marked an A with red ink. My father was proud but told me to keep my interest at heart and to not abandon other subjects in school. Thus I was just doing art on the surface in primary school as I had to focus more on other subjects that were told to me to be more important.
Then, when I was in high school and being a commerce student in a ‘soon-to-be-fully-science school’, I had no option but to do Pendidikan Seni (Art Education) for the completion of my elective subjects. I feel demotivated and outcasted as art was not something of emphasis in that school. However, I was calmed by the art activities that we did in class, trying different methods, techniques and materials. I find art to be a therapeutic subject that relaxes me and classmates while spending hours studying for an important exam. Two years later, I received the result of my Sijil Pelajaran Malaysia, to my surprise I scored C4 in Pendidikan Seni (Art Education) - a strong credit compared to the subject of Commerce subject that I targeted to be my weapon of success.
Now many years later, after working in different industries I am back in art world again. Meeting my husband proved a bigger influence in my life to pursue art as a passion. Art is his educational background, as a freelance artist and curator, he often brought me to attend art exhibitions around Malaysia. He helped me understand and appreciate the different criterion of art. I enjoy the learning process and I am hoping that one day I would be more than just an art enthusiasts, and able to contribute my thoughts, ideas, opinion, feeling and emotions in the field of art.
Earlier this year, I had the chance to work with my husband in organizing and curating an art exhibition at a new gallery. We featured five emerging artists in the show, where I had experience a casual interview with them and did a simple write up for the catalogue. Below is the excerpt of my amateur effort at writing;
CHEKRI MANSOR
Mohd Rizal Mansor Din or fondly known as Chekri Mansor is a self taught, free-spirited surrealist artist. His inspiration comes from the influences of his surroundings, combined with great imagination. He infused Malaysian folklores, old idioms and proverbs through the exploration of multi-cultural beauty. Painting stories with vivid colours, expressing details with the form of mixed media and creating contrast is his formula in his work. Chekri Mansor had been featured in many exhibitions and venues; among them are Pameran Palestine Program Amal 2009 held at Balai Seni Lukis Negara in 2009, International Contemporary Art Fair 2008 at Mid Valley Exhibition Centre Kuala Lumpur and 62nd Tokyo International Gift Show at Tokyo Big Sight Odaiba, Japan in 2006.
CHRISTINE DAS
Like a hidden gem from the shores of the north, Christine Das had emerged with the help from ‘mother nature’. Her artistic journey is as colourful as her artwork, seeing her involvement in book illustrations, displays, mural painting, graphic design and animation. In 1999, she was the scenic artist on the set of Hollywood production “Anna and the King”. Her vibrant works were shown recently in MATICS, with the theme ‘Que Sera Sera’, where Christine allowed herself to be liberated and let her brush flowed freely in creating every piece. Christine received the Woman of Style and Substance award from Marie Claire magazine (Malaysia) in 2013.
ELIAS YAMANI
Elias Yamani Ismail graduated from UiTM with a Fine Arts Degree in the year 2000 and later continued his studies in Graphic Designs and Multimedia at LIM KOK WING University College of Multimedia and Design. He began producing art actively in the late 1990’s and has undergone diverse explorations in the art making process. As a result, his body of artworks are not bound to one specific approach. His mission is to not be tied to a certain format and specific medium. He believes in many possibilities of experimentation in producing artwork.
SHALIZA JUANNA
The apple does not fall far from the tree; Shaliza’s main influence is her own father who is a lecturer in Fine Art. She receives her first exposure at a tender age through frequent visits to art exhibitions with her father. A graduate of UiTM Shah Alam, she had participated in various exhibition such as Young Malaysian Artist, Petronas Gallery KLCC and “Ilham”- Steampunk at Pelita Hati, Bangsar. Her sculpture, the “pop-eyed monster” is an intriguing piece that had many viewers stare and gaze.
SUKOR ROMAT
Muhammad Sukor Bin Romat is a full time lecturer in SOMAD (School of Media Art Design), LINTON University College in Negeri Sembilan. This young man holds a Masters of Art and Design (Fine Art and Technology) from UiTM, Selangor. His competitive nature begins in high school, collecting numerous awards from competition and recognition in his art work. His artwork had been showcased in exhibition in venue such as Balai Seni Lukis Negara, House of Matahati (HOM) and Artvillage Gallery in Bangsar. Sukor Romat is also a finalist of Young Contemporary Awards 2013 held in Nasional Visual Arts Gallery, Kuala Lumpur.
(ends of excerpt)
Last but not least, as a newcomer I am grateful for the opportunity given by Artelier Gallery to join the team as Gallery Executive. This career development is a step further to chase my dream in the art world and I believe Artelier Gallery is the right platform for me to learn, grow and materialize my vision of becoming a contributor to the Malaysian art scene.
ESSAY 1 : Fadzli Mokhtar
Bakat, kebolehan, kecekapan, kebijaksanaan, imaginasi, intuisi, nafsu, berdaya cipta dan keberanian. Ini adalah antara kualiti yang sukar difahami pada sesetengah golongan seniman yang dilaburkan dalam menuju pencapaian cemerlang seseorang seniman. Namun sejauh mana perkaitan elemen kualiti – kualiti ini, bakal memberi impak dan manafaat kepada dirinya? Elemen yang dinyatakan tadi merupakan suatu bentuk “perjalanan” bagi seseorang seniman dalam merealisasikan impian dan kreativiti mereka.
Bertitik tolak dari semangat dan impian penerokaan kreativiti ini telah membawa seniman muda seperti Faizal Suhif menjelajah ke Ubud di Daerah Kabupaten Gianyar, Pulau Bali, Indonesia. Terletak di antara sawah, hutan dan jurang-jurang gunung yang indah dan damai, kehidupan masyarakat Ubud tidak dapat dipisahkan dari tradisi kesenian, kebudayaan dan amalan-amalan ritualnya.
Pesona Pulau Bali ini bakal diserap oleh Faizal dalam percubaannya mengembangkan proses kreativitinya. Seperti mana Paul Gauguin yang terkenal dengan pengaruh budaya primitif dalam karyanya dan kisah jelajahnya di pulau Tahiti. Begitu juga dengan pelukis hebat Eropah yang lain seperti Delacroix dengan beberapa pelukis perancis era romantism yang menjelajah Morocco, Algeria dan Timur tengah pada 1830an dan 1840an untuk mencari inspirasi di Negara asing .
Sebagaimana kisah penerokaan pelukis-pelukis barat tersebut, Sejarah seni lukis di Bali juga tidak asing daripada peranan beberapa seniman dari barat. Malahan Pulau ini pernah merakamkan riwayat pelukis yang berkelana ke pulau ini seperti Antonio Blanco ,Rudolf Bonnet, Arie Smith dan Walter Spies. Mereka adalah antara pelukis yang tertawan dengan kepelbagaian keindahan Bali. Mereka secara tidak langsung telah merakamkan pesona Pulau Bali dan memperkenalkan teknik dan kaedah barat dalam seni lukisan untuk artis-artis tempatan di Bali.
Seperti Antonio Blanco , Rudolf Bonnet (sekadar menyebut beberapa nama) dan yang lain. Faizal juga telah merakamkan perspektif dan pemikiran beliau terhadap pulau ini. Dalam tempoh residensi beliau di sini, telah terhasil beberapa siri karya yang sedikit sebanyak tidak lari dari menampakkan pengaruh “ke-bali-an” yang menggambarkan elemen rupa, bentuk, isu, nilai budaya masyarakat setempat dan kemanusiaan sejagat.
Rakaman Bali
Disebalik kemasyuran nama ’Pulau Bali’ itu, ianya juga tidak terlepas dari pergelutan dalam memastikan keseimbangannya .
Mahatma Gandhi pernah berkata : “ Earth provides enough to satisfy every man's need, but not every man's greed ?”. Kata –kata Gandhi ini ada kebenarannya kerana Sejarah setempat telah merakamkan bahawa bumi dan kanak-kanak sentiasa menjadi mangsa era pemodenan dan perindustrian ini.
Seseorang manusia itu boleh memilih untuk tidak terlibat, melupakan atau menidakkannya sesuatu peristiwa. Tetapi belum pasti pada seorang seniman seperti Faizal. Sesuatu kejadian atau peristiwa yang berlaku akan tetap tersimpan dalam ingatannya dan sentiasa meminta pertimbangan dan kepastian terhadap tanggapannya.
Karya beliau yang bertajuk (karya A) 2012 memperlihatkan bentakan dan sentapan matahati si pengkarya yang merakamkan sedikit sebanyak tempias pengkomesialan dan multi budaya terhadap masyarakat setempat Pulau ini. Begitu juga bagaimana masyarakat setempat mengekalkan dan mempertahankan kelangsungan adat dan tradisi mereka disebalik kerakusan globalisasi yang sedikit demi sedikit meratah khazanah pulau ini.
Mencari Fitrah Asal
Faizal adalah segelintir dari golongan pengkarya muda yang berkarya dalam kerangka daerah mencari keseimbangan, penyesuaian dan penyelesaian dalam menjajalani asal kefitrahan seorang manusia. terdapat “pergelutan” dalaman yang wujud pada dirinya yang memberi kita sedikit “trigger’ dalam memahami patern-patern pemikiran seorang seniman muda sepertinya
Olahan melalui proses garapan pengalaman, emosi dan kudrat yang dicurahkan pada helaian kertas dan kanvas, mentafsirkan persoalan –persoalan peribadinya tentang kehidupan untuk dikongsi bersama khalayak. Kerana itu setiap karya seni, ditatapi masyarakat massa dan setiap satunya menyimpan cita-cita, hasrat, harapan dan mimpi besar si seniman. Ini seperti yang ditunjukkan dalam karya beliau bertajuk (karya B) 2012.
Berkesan atau tidak, terkesan atau tidak, ? terjual ataupun tidak ? itu bukan ukurannya. Pokoknya banyak elemen-elemen positif yang telah diserap dari pengalaman anak muda ini, Biarlah masa dan sejarah yang bakal merakamkannya, kerana persoalan itu seakan tidak pernah mahu terjawab dengan mudah.mudah –mudahan bermanafaat buat kerjaannya sekarang dan masa –masa mendatang.
SELAMAT MAJU JAYA ..........FAIZAL.
Kelana Jaya. Malaysia. Jun 2012
Mohd Fadli Mokhtar.
Bertitik tolak dari semangat dan impian penerokaan kreativiti ini telah membawa seniman muda seperti Faizal Suhif menjelajah ke Ubud di Daerah Kabupaten Gianyar, Pulau Bali, Indonesia. Terletak di antara sawah, hutan dan jurang-jurang gunung yang indah dan damai, kehidupan masyarakat Ubud tidak dapat dipisahkan dari tradisi kesenian, kebudayaan dan amalan-amalan ritualnya.
Pesona Pulau Bali ini bakal diserap oleh Faizal dalam percubaannya mengembangkan proses kreativitinya. Seperti mana Paul Gauguin yang terkenal dengan pengaruh budaya primitif dalam karyanya dan kisah jelajahnya di pulau Tahiti. Begitu juga dengan pelukis hebat Eropah yang lain seperti Delacroix dengan beberapa pelukis perancis era romantism yang menjelajah Morocco, Algeria dan Timur tengah pada 1830an dan 1840an untuk mencari inspirasi di Negara asing .
Sebagaimana kisah penerokaan pelukis-pelukis barat tersebut, Sejarah seni lukis di Bali juga tidak asing daripada peranan beberapa seniman dari barat. Malahan Pulau ini pernah merakamkan riwayat pelukis yang berkelana ke pulau ini seperti Antonio Blanco ,Rudolf Bonnet, Arie Smith dan Walter Spies. Mereka adalah antara pelukis yang tertawan dengan kepelbagaian keindahan Bali. Mereka secara tidak langsung telah merakamkan pesona Pulau Bali dan memperkenalkan teknik dan kaedah barat dalam seni lukisan untuk artis-artis tempatan di Bali.
Seperti Antonio Blanco , Rudolf Bonnet (sekadar menyebut beberapa nama) dan yang lain. Faizal juga telah merakamkan perspektif dan pemikiran beliau terhadap pulau ini. Dalam tempoh residensi beliau di sini, telah terhasil beberapa siri karya yang sedikit sebanyak tidak lari dari menampakkan pengaruh “ke-bali-an” yang menggambarkan elemen rupa, bentuk, isu, nilai budaya masyarakat setempat dan kemanusiaan sejagat.
Rakaman Bali
Disebalik kemasyuran nama ’Pulau Bali’ itu, ianya juga tidak terlepas dari pergelutan dalam memastikan keseimbangannya .
Mahatma Gandhi pernah berkata : “ Earth provides enough to satisfy every man's need, but not every man's greed ?”. Kata –kata Gandhi ini ada kebenarannya kerana Sejarah setempat telah merakamkan bahawa bumi dan kanak-kanak sentiasa menjadi mangsa era pemodenan dan perindustrian ini.
Seseorang manusia itu boleh memilih untuk tidak terlibat, melupakan atau menidakkannya sesuatu peristiwa. Tetapi belum pasti pada seorang seniman seperti Faizal. Sesuatu kejadian atau peristiwa yang berlaku akan tetap tersimpan dalam ingatannya dan sentiasa meminta pertimbangan dan kepastian terhadap tanggapannya.
(Karya A -To be conform)/ 2012/ Charcoal, acrylic on canvas/ 122 x 244cm
Mencari Fitrah Asal
Faizal adalah segelintir dari golongan pengkarya muda yang berkarya dalam kerangka daerah mencari keseimbangan, penyesuaian dan penyelesaian dalam menjajalani asal kefitrahan seorang manusia. terdapat “pergelutan” dalaman yang wujud pada dirinya yang memberi kita sedikit “trigger’ dalam memahami patern-patern pemikiran seorang seniman muda sepertinya
(Karya B -To be conform)/ 2012/ Charcoal, acrylic on canvas/ 122 x 244cm
Olahan melalui proses garapan pengalaman, emosi dan kudrat yang dicurahkan pada helaian kertas dan kanvas, mentafsirkan persoalan –persoalan peribadinya tentang kehidupan untuk dikongsi bersama khalayak. Kerana itu setiap karya seni, ditatapi masyarakat massa dan setiap satunya menyimpan cita-cita, hasrat, harapan dan mimpi besar si seniman. Ini seperti yang ditunjukkan dalam karya beliau bertajuk (karya B) 2012.
Berkesan atau tidak, terkesan atau tidak, ? terjual ataupun tidak ? itu bukan ukurannya. Pokoknya banyak elemen-elemen positif yang telah diserap dari pengalaman anak muda ini, Biarlah masa dan sejarah yang bakal merakamkannya, kerana persoalan itu seakan tidak pernah mahu terjawab dengan mudah.mudah –mudahan bermanafaat buat kerjaannya sekarang dan masa –masa mendatang.
SELAMAT MAJU JAYA ..........FAIZAL.
Kelana Jaya. Malaysia. Jun 2012
Mohd Fadli Mokhtar.
ESSAY 1 : Nazrul Hamzah Md Nor Azman
RINGKASAN TENTANG DIRI
Naz merupakan anak kedua daripada dua beradik. Ayah dan ibunya merupakan pesara. Kakaknya tua setahun. Lahir di ibu kota, Naz juga sama seperti individu lain yang lahir di era informasi; teknologi dan dunia hiperrealiti – menghirup udara di atmosfera globalisasi. Naz menganggap dirinya merupakan seorang yang mempunyai kehidupan yang mendatar. Tidak banyak perkara yang istimewa berlaku dalam hidupnya, cuma hidup normal yang sederhana.
Naz merupakan seorang yang pendiam dan tidak banyak cakap sejak kecil. Di sekolah, dia merupakan seorang yang agak formal dan kemas. Setiap hari memakai tali leher di sekolah. Setiap pagi masa yang paling lama diambil adalah masa untuk bersiap. Rambut paling lama. Baju mesti digosok tanpa sebarang kemut. Seluar pula wajib ada bekas lipatan tengah; lipatan seluar formal. Beg pula selalunya besar dan berat. Jarang sekali terlupa bawa buku sekolah. Keterampilan dirinya sudah lengkap namun hakikatnya selalu peroleh kedudukan 20 lebih dalam peperiksaan di kelas. Seni hanya subjek tambahan, kerana Naz merupakan pelajar Sains.
Kehidupan pertama kali di menara gading sangat memberi impak besar terhadap dirinya dan banyak mengubah dirinya ke arah yang lebih matang. Dia mula belajar dari pelbagai kesilapan dan hidup berdikari. Perkara yang paling dianggap normal pada ketika itu adalah membuat maggi dan assignment. Namun bukan untuk diri sendiri. Membancuh teh dan menggosok baju juga menjadi satu rutin. Namun juga bukan untuk diri sendiri. Tapi untuk abang-abang senior. Tapi baginya alah biasa tegal biasa. Dia tidak fikir ianya sesuatu yang serius. Apa yang lagi serius ialah penceburannya dalam bidang seni yang telah mengajarnya erti keindahan dan estetika dalam suatu kewujudan. Apresiasi terhadap sekeliling semakin meningkat bukan sahaja terhadap perkara yang cantik dimata, namun apa-apa yang buruk juga ditanggap cantik sebagai suatu kewujudan dan lumrah kehidupan.
Minat terhadap seni kontemporari, terutamanya seni yang keluar daripada tanggapan traditional; iaitu pencarian suatu idea baru, visual dan konsep dalam pada masa yang sama mempersoal tentang kesahihannya menjadi ‘seni’. Sangat ghairah untuk mengetahui tentang seni, kepelbagaian definisinya, fungsi terhadap masyarakat dan bagaimana seni membentuk dunia kepada suatu tempat yang lebih baik dan dianggap merupakan bidang yang sangat penting di dunia.
Kini Naz berumur 23 tahun dan baru sahaja tamat belajar. Baru sahaja tamatkan pengajian Ijazah Sarjana Muda (Kepujian) dalam bidang Senilukis dan Senireka jurusan arca, di Universiti Teknologi MARA (UiTM), Shah Alam dan berjaya mencapai deanlist setiap semester. Tapi tak kemana, Naz terpinga-pinga tanpa kerja. Sekarang dia duduk rumah tolong mamanya cuci pinggan. Kadang-kadang dia duduk main internet dan tengok televisyen sepanjang hari. Kadang-kadang perasaan kesal sering menanggap dirinya sebab pilih jalan seni. Baginya seni itu susah. Baginya semua orang boleh melukis tapi tidak ramai yang kritikal terhadap definisi seni. Kalau ada pun suaranya sayup. Seni juga tidak menjamin masa depan yang cerah berbanding kerjaya-kerjaya yang lain. Ianya bergantung kepada usaha yang tinggi kerana kebanyakan seniman yang telah berjaya kebanyakkannya bernama dan untuk menampal nama dalam bidang seni bukanlah seperti mengopek kulit kacang. Lagi-lagi untuk seorang yang pendiam.
Naz merupakan anak kedua daripada dua beradik. Ayah dan ibunya merupakan pesara. Kakaknya tua setahun. Lahir di ibu kota, Naz juga sama seperti individu lain yang lahir di era informasi; teknologi dan dunia hiperrealiti – menghirup udara di atmosfera globalisasi. Naz menganggap dirinya merupakan seorang yang mempunyai kehidupan yang mendatar. Tidak banyak perkara yang istimewa berlaku dalam hidupnya, cuma hidup normal yang sederhana.
Naz merupakan seorang yang pendiam dan tidak banyak cakap sejak kecil. Di sekolah, dia merupakan seorang yang agak formal dan kemas. Setiap hari memakai tali leher di sekolah. Setiap pagi masa yang paling lama diambil adalah masa untuk bersiap. Rambut paling lama. Baju mesti digosok tanpa sebarang kemut. Seluar pula wajib ada bekas lipatan tengah; lipatan seluar formal. Beg pula selalunya besar dan berat. Jarang sekali terlupa bawa buku sekolah. Keterampilan dirinya sudah lengkap namun hakikatnya selalu peroleh kedudukan 20 lebih dalam peperiksaan di kelas. Seni hanya subjek tambahan, kerana Naz merupakan pelajar Sains.
Kehidupan pertama kali di menara gading sangat memberi impak besar terhadap dirinya dan banyak mengubah dirinya ke arah yang lebih matang. Dia mula belajar dari pelbagai kesilapan dan hidup berdikari. Perkara yang paling dianggap normal pada ketika itu adalah membuat maggi dan assignment. Namun bukan untuk diri sendiri. Membancuh teh dan menggosok baju juga menjadi satu rutin. Namun juga bukan untuk diri sendiri. Tapi untuk abang-abang senior. Tapi baginya alah biasa tegal biasa. Dia tidak fikir ianya sesuatu yang serius. Apa yang lagi serius ialah penceburannya dalam bidang seni yang telah mengajarnya erti keindahan dan estetika dalam suatu kewujudan. Apresiasi terhadap sekeliling semakin meningkat bukan sahaja terhadap perkara yang cantik dimata, namun apa-apa yang buruk juga ditanggap cantik sebagai suatu kewujudan dan lumrah kehidupan.
Minat terhadap seni kontemporari, terutamanya seni yang keluar daripada tanggapan traditional; iaitu pencarian suatu idea baru, visual dan konsep dalam pada masa yang sama mempersoal tentang kesahihannya menjadi ‘seni’. Sangat ghairah untuk mengetahui tentang seni, kepelbagaian definisinya, fungsi terhadap masyarakat dan bagaimana seni membentuk dunia kepada suatu tempat yang lebih baik dan dianggap merupakan bidang yang sangat penting di dunia.
Kini Naz berumur 23 tahun dan baru sahaja tamat belajar. Baru sahaja tamatkan pengajian Ijazah Sarjana Muda (Kepujian) dalam bidang Senilukis dan Senireka jurusan arca, di Universiti Teknologi MARA (UiTM), Shah Alam dan berjaya mencapai deanlist setiap semester. Tapi tak kemana, Naz terpinga-pinga tanpa kerja. Sekarang dia duduk rumah tolong mamanya cuci pinggan. Kadang-kadang dia duduk main internet dan tengok televisyen sepanjang hari. Kadang-kadang perasaan kesal sering menanggap dirinya sebab pilih jalan seni. Baginya seni itu susah. Baginya semua orang boleh melukis tapi tidak ramai yang kritikal terhadap definisi seni. Kalau ada pun suaranya sayup. Seni juga tidak menjamin masa depan yang cerah berbanding kerjaya-kerjaya yang lain. Ianya bergantung kepada usaha yang tinggi kerana kebanyakan seniman yang telah berjaya kebanyakkannya bernama dan untuk menampal nama dalam bidang seni bukanlah seperti mengopek kulit kacang. Lagi-lagi untuk seorang yang pendiam.
Subscribe to:
Posts (Atom)