Friday, 5 September 2014
ESSAY 1 : Dr. M. Dwi Marianto
RUANG YANG (SEHARUSNYA)
MENGINSPIRASI PAMERAN FESTIVAL KESENIAN INDONESIA KE-8 2014
Lingkungan sosial-geografis dengan dinamika budayanya yang ada, selalu saja mampu memengaruhi karakter estetik dari lembaga pendidikan seni dan disain yang berada dalam lingkungan itu. Realita keseharian lingkungan itu pun biasanya jadi rujukan penting dalam mengeksplorasi dan mengembangkan ide-ide kreatif, metafor, solusi estetik, pendekatan disain, atau pemilihan media dan material yang termunculkan pada karya-karya seni dan produk-produk yang dihasilkan.
Akan membuka mata dan menginspirasi kalau produk-produk seni dan disain dari berbagai lingkungan berbeda itu disandingkan di ruang dan waktu yang sama secara bersamaan, dan akan menjadi taferil ‘warna-warni”. Maka diperlukan penyelarasan warna, jenis media, ukuran dan karakter dari karya-karaya yang akan dihadirkan. Berkaitan dengan ini, karya-karya seni dan disain yang mewakili semua anggota BKS, yang terdiri dari ISI Ujung Pandang, ISI Padang Panjang, ISI Surakarta, STKW, IKJ, STSI Bandung, ISI Yogyakarta, tidak dikelompokkan berdasarkan PT asal masing-masing, melainkan disusun berdasarkan kesamaan tampilan fisik, atau warna dari karya-karya bersangkutan. Penyelarasan ini penting, agar karya-karya dapat terkelompokkan secara harmonis, sehingga ruang pajang karya tidak mengecil secara optis, melainkan sebaliknya.
Selain itu, perlu pula dijadikan pemahaman bersama, bahwa perhelatan ini berada dibawah perhelatan Festival Kesenian Indonesia (FKI) ke-8. Maka ide tentang keindonesian harus diletakkan di urutan terdepan. Artinya para pemirsa akan dibimbing ke satu cara pandang tertentu, yaitu melihat kata ‘Indonesia’, dalam FKI sebagai satu entitas bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbentuk dari keberagaman suku, budaya, bahasa, adat-istiadat, dan kepercayaan.
Pameran FKI ke-8 di Kampus ISI Yogyakarta menggelar kurang-lebih 300 karya seni dan disain, yaitu karya-karya dosen dan mahasiswa dari ketujuh PT Seni yang tergabung dalam BKS PT Seni, dan sejumlah karya dari beberapa alumnus ISI Yogyakarta. Karya-karya terpilih dipamerkan di dalam dan luar ruang. Meliputi karya-karya dengan media konvensional, baru, atau alternatif. Pada prinsipnya kami menginginkan agar para peserta dapat menghadirkan karya-karya yang menginspirasi, atau yang mengusung kebaruan. Yang terpenting konsep dan ujud karyanya meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena sesungguhnya lembaga pendidikan harus selalu berani untuk berinovasi, dan juga memutakhirkan kurikulum serta orientasi pendidikan. Untuk apa? Tentu saja untuk menjawab permasalahan aktual masa kini. Perguruan Tinggi Seni, sama dengan perguruan Tinggi lain, harus mau membuka dan memperbarui diri secara terus-menerus seiraman perkembangan zaman.
Karya-karya yang dipamerakan adalah hasil pengkurasian oleh para kurator dari semua perguruan tinggi anggota yang terlibat. Supervisi dan diskusi atas apa yang layak pamer, maupun yang tidak, dilakukan sacara kolektif. Semua kurator bersama-sama mendatangi kampus semua perguruan tinggi peserta, meninjau langsung dan mendiskusikan permasalahan on the spot. Melalui kunjungan ke kampus-kampus itu kami melihat terjadinya dinamika, negosiasi, dan tensi antara yang tradisional atau lokal dan yang modern, kontemporer, atau global. Ada yang lebih merefleksi realita budaya tradisional, atau budaya etnik; namun ada pula yang tidak terlalu memasalahkan apakah yang digarap itu urban, tradisional, atau global, yang penting mereka dapat mengartikulasikan permasalahan baru di masa sekarang ini melalui seni atau disain.
I Ketut Murdana (ISI Denpasar) dalam tulisannya mengatakan bahwa karya-karya Seni Rupa ISI Denpasar memilih cara pandang yang menempatkan warna lokal sebagai basis pergulatan untuk menyerap unsur-unsur budaya luar yang menaburi Bali, secara selektif. Tantangan akibat hadirnya budaya-budaya luar dilihat sebagai peluang, dan sekaligus sebagai motivasi untuk pencarian ide-ide kreatif dalam menghasilkan karya-karya yang beridentitas dan berkualitas, guna menanggapi dinamika pasar. (Dikembangkan dari tulisan kuratorial I Ketut Murdana, “Seni Untuk Peradaban Yang Manusiawi).
Erizal, kurator dari ISI Padang Panjang, menyatakan bahwa ISI Padang Panjang mengeksplor dan mengembangkan unsur-unsur dan perbendaharaan seni yang diserap dari tradisi Melayu atau Minangkabau. Interest akan keberagaman seni budaya, dan pemilihan salah satu dari keragaman yang ada, telah sejak awal dinyatakan di awal tulisan kuratorialnya, sebagai berikut: “Keragaman seni budata yang menyangkut karakteristik media, keunikan, corak, gaya, dan bentuk maupun ideologi yang dimiliki bangsa Indonesia adalah modal dasar dalam melahirkan karya seni yang kreatif, inovatif, dan kompetitif bagi insan perguruan tinggi yang ada di Indonesia”. (“Pameran Seni Rupa ‘Spirit of the Future: Art for Humanizing Civilization’”)
Bramantijo, kurator STKW Surabaya, melalui tulisannya ia menarik hubungan antara karya-karya pilihan dari STKW Surabaya, dan thema Pameran FKI 2014, yang adalah “Spirit of the Future: Art for Humanizing Civilization”. Ia secara gamblang mengakui bahwa semua karya pilihan dari lembaganya itu, dibuat tahun 2014. Ada yang diciptakan sebelum thema pameran digulirkan, dan selebihnya yang dibuat setelah thema pameran ditentukan. Ia berdalih karena thema pameran kali ini cukup luas untuk bermanuver kreatif secara leluasa, sejauh karya itu tetap menghadirkan simbol-simbol kemanusiaan yang mengindahkan nilai-nilai yang memanusiawikan peradaban.
Agus Cahyono, kurator STSI Bandung, menyoroti karya-karya drawing dan rancanganbusana dari lembaga yang diwakilinya. Drawing, dan karya tekstil busana dengan pewarna alami, menurutnya sangat baik mewakili interest dan jati diri para mahasiswa STSI Bandung, dalam menunjukkan kelokalan dan ciri-ciri seni etnis daerah Bandung. Seni dalam konteks ini menurutnya adalah wahana keberlangsungan pewarisan budaya masyarakat disana yang memiliki kelekatan yang kuat pada lingkungan alam dan nuansa alami. Ia melihat dengan jelas jejak proses perkembangan di tiap perguruan tinggi seni, yang selalu berupaya untuk menyajikan smangat kebaruan sesuai dengan keunggulannya masing-masing.
Mengenai karya-karya yang disodorkan di kampus-kampus yang didatangi, untuk dipilih, kiranya pendapat Prof Dharsono, kurator dari ISI Surakarta layak diperhatikan. Ia mengatakan bahwa karya-karya dari 7 Perguruan Tinggi Seni anggota BKS PT Seni, sangat beragam, dan sebagian besar menyiratkan kegelisahan dalam menyikapi perkembangan kreativitas seni dewasa ini. Seni Murni (lukis, patung, grafis), Seni Kriya, dan DKV hampir semuanya mendambakan ekspresi personal dalam berkarya. Ia pun mencatat bahwa dilihat karya-karya yang ada nampaknya para mahasiswa mulai menyadari pentingnya kepekaan teknis dan pengembaraan imaginasi dalam proses kreatif. Maka, ia menyimpulkanbahwa pameran bersama seperti perhelatan FKI 2014 ini sangatlah diperlukan, sebagai ajang dialog antara seniman, karya, dan penghayat untuk memperbincangkan ragam bentuk, ragam makna, dan ragam nilai dalam seni. (Catatan kuratorial Sony Kartika / prof Dharsono).
Sinyalemen mengenai kegelisahan oleh Dharsono sungguh layak untuk dicermati. Macam-macam penyebab atau pemicu kegelisahan. Namun menurut penulis (M Dwi Marianto) boleh jadi kegelisahan itu disebabkan oleh realita semakin membesarnya gap antara wacana seni yang berkembang di lingkungan akademis kampus PT Seni, dan apa yang menggejala di luar ‘pagar’ lembaga akademis. Beberapa tahun belakangan ini paradigma akademik lebih megarah ke sistem yang menekankan paradigma yang bersifat linie, dalam mana hanya perkembangan ilmiah yang selalu segaris sajalah yang memperoleh point. Proses penciptaan seni, riwayat penelitian dan penulisan yang dianggap benar dan kredibel harus yang selalu sebidang, atau segaris dengan tahapan yang berjenjang. Atau, proses kreatif yang dibayangkan sahih dan saintifik adalah yang sejak awal terjabarkan secara jelas pilah, dengan struktur dan proses perealisasian yang memiliki kepastian dan serba terukur.
Padahal kenyataannya, realita yang sesungguhnya itu selalu membingungkan, absurd, dan lompat-lompat. Ide-ide seni itu biasanya berseliweran dan bergerak zigzag. Sehingga muncullah ungkapan “from chaos to order” – dari yang serba acak ke ketertataan. Yang menggejala di dunia seni manapun, misalnya sebagaimana yang sudah sering tergelar di berbagai perhelatan seni rupa, orang dapat jelas melihat bahwa karya-karya seni yang menggebrak cara pandang, dengan daya ganggu kuat, yang menginspirasi munculnya kebaruan, dan yang sarat metafor kreatif baru, biasanya justru karya seni / disain yang pemunculan ide kreatifnya tidak linier, melainkan yang dinamik non-linier. Ide-ide itu dipetik dari luar ‘kotak’ kelaziman, atau yang ditangkap dari sesuatu yang bergerak di wilayah yang samar-samar.
Kegelisahan adalah energi yang dapat diubah menjadi daya kreatif. Tanpa kegelisahan dan rasa terprovokasi, pikiran seniman akan melambat, berhenti, lalu mati. Orang belajar memang harus gelisah. Seperti halnya ketika orang masuk ke dalam suatu ruang pamer yang menggelar karya-karya yang menginspirasi; ia akan gemetar, gelisah, jantungnya berdegup, merasa tertantang, ‘panas’, lalu berkata “aku juga bisa”.
Semoga Pameran Seni Rupa di FKI ke-8 di Kampus ISI Yogyakarta menjadi forum pembelajaran bagi siapa saja, apakah yang mengorganisisr, melihat, mengkritik, atau yang mengambil hikmah apa saja dari padanya, baik dosen maupun mahasiswa. Sebagai greget merencana karya yang menawarkan inovasi, novelti, atau apa saja yang memberi makna istimewa bagi dirinya dan masyarakat. Salam FKI
M Dwi Marianto
Kurator Tuan Rumah FKI 2014
Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Subscribe to:
Posts (Atom)