Friday, 5 September 2014

Poster

ESSAY 1 : Dr. M. Dwi Marianto

RUANG YANG (SEHARUSNYA) MENGINSPIRASI PAMERAN FESTIVAL KESENIAN INDONESIA KE-8 2014

   Lingkungan sosial-geografis dengan dinamika budayanya yang ada, selalu saja mampu memengaruhi karakter estetik dari lembaga pendidikan seni dan disain yang berada dalam lingkungan itu. Realita keseharian lingkungan itu pun biasanya jadi rujukan penting dalam mengeksplorasi dan mengembangkan ide-ide kreatif, metafor, solusi estetik,  pendekatan disain, atau pemilihan media dan material yang termunculkan pada karya-karya seni dan produk-produk yang dihasilkan.

   Akan membuka mata  dan menginspirasi kalau produk-produk seni dan disain dari berbagai lingkungan berbeda itu disandingkan di ruang dan waktu yang sama secara bersamaan, dan akan menjadi taferil ‘warna-warni”. Maka diperlukan penyelarasan warna, jenis media, ukuran dan karakter dari karya-karaya yang akan dihadirkan. Berkaitan dengan ini, karya-karya seni dan disain yang mewakili semua anggota BKS, yang terdiri dari ISI Ujung Pandang, ISI Padang Panjang, ISI Surakarta, STKW, IKJ, STSI Bandung,  ISI Yogyakarta, tidak dikelompokkan berdasarkan PT asal masing-masing, melainkan disusun berdasarkan kesamaan tampilan fisik, atau warna dari karya-karya bersangkutan. Penyelarasan ini penting, agar karya-karya dapat terkelompokkan secara harmonis, sehingga ruang pajang karya tidak mengecil secara optis, melainkan sebaliknya. 

   Selain itu, perlu pula dijadikan pemahaman bersama, bahwa perhelatan ini berada dibawah perhelatan Festival Kesenian Indonesia (FKI) ke-8. Maka ide tentang  keindonesian harus diletakkan di urutan terdepan. Artinya para pemirsa akan dibimbing ke satu cara pandang tertentu, yaitu melihat kata ‘Indonesia’, dalam FKI sebagai satu entitas bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbentuk dari keberagaman suku, budaya, bahasa, adat-istiadat, dan kepercayaan.

     Pameran FKI ke-8 di Kampus ISI Yogyakarta menggelar kurang-lebih 300 karya seni dan disain, yaitu karya-karya dosen dan mahasiswa  dari ketujuh PT Seni yang tergabung dalam BKS PT Seni, dan sejumlah karya dari beberapa  alumnus ISI Yogyakarta. Karya-karya terpilih dipamerkan di dalam dan luar ruang. Meliputi karya-karya dengan media konvensional, baru, atau alternatif. Pada prinsipnya kami menginginkan agar para peserta dapat menghadirkan karya-karya yang menginspirasi, atau yang mengusung kebaruan. Yang terpenting konsep dan ujud karyanya meyakinkan dan  dapat dipertanggungjawabkan. Karena sesungguhnya lembaga pendidikan harus selalu berani untuk berinovasi, dan juga memutakhirkan kurikulum serta orientasi pendidikan. Untuk apa? Tentu saja untuk menjawab permasalahan aktual masa kini. Perguruan Tinggi Seni, sama dengan perguruan Tinggi lain, harus mau membuka dan memperbarui diri secara terus-menerus seiraman perkembangan zaman.

     Karya-karya yang dipamerakan adalah hasil pengkurasian oleh para kurator dari semua perguruan tinggi anggota yang terlibat. Supervisi dan diskusi atas apa yang layak pamer, maupun yang tidak, dilakukan sacara kolektif. Semua kurator bersama-sama mendatangi kampus semua perguruan tinggi peserta, meninjau langsung dan mendiskusikan permasalahan on the spot. Melalui kunjungan ke kampus-kampus itu kami melihat terjadinya dinamika, negosiasi, dan tensi antara yang tradisional atau lokal dan yang modern, kontemporer, atau global. Ada yang lebih merefleksi realita budaya tradisional, atau budaya etnik; namun ada pula yang tidak terlalu memasalahkan apakah yang digarap itu urban, tradisional, atau global, yang penting mereka dapat mengartikulasikan  permasalahan baru di masa sekarang ini melalui seni atau disain.

    I Ketut Murdana (ISI Denpasar) dalam tulisannya mengatakan bahwa karya-karya Seni Rupa ISI Denpasar memilih cara pandang yang menempatkan warna lokal sebagai basis pergulatan untuk menyerap unsur-unsur budaya luar yang menaburi Bali, secara selektif.  Tantangan akibat hadirnya budaya-budaya luar dilihat sebagai peluang, dan sekaligus sebagai motivasi untuk pencarian ide-ide kreatif dalam menghasilkan karya-karya yang beridentitas dan berkualitas, guna menanggapi dinamika pasar. (Dikembangkan dari tulisan kuratorial I Ketut Murdana, “Seni Untuk Peradaban Yang Manusiawi).

     Erizal, kurator dari ISI Padang Panjang, menyatakan bahwa  ISI Padang Panjang mengeksplor dan mengembangkan unsur-unsur dan perbendaharaan seni yang diserap dari tradisi Melayu atau Minangkabau. Interest akan keberagaman seni budaya, dan pemilihan salah satu dari keragaman yang ada, telah sejak awal dinyatakan di awal tulisan kuratorialnya, sebagai berikut: “Keragaman seni budata yang menyangkut karakteristik media, keunikan, corak, gaya, dan bentuk maupun ideologi yang dimiliki bangsa Indonesia adalah modal dasar dalam melahirkan karya seni yang kreatif, inovatif, dan kompetitif bagi insan perguruan tinggi yang ada di Indonesia”. (“Pameran Seni Rupa ‘Spirit of the Future: Art for Humanizing Civilization’”)

    Bramantijo, kurator STKW Surabaya, melalui tulisannya ia menarik hubungan antara karya-karya pilihan dari STKW Surabaya, dan thema Pameran FKI 2014, yang adalah “Spirit of the Future: Art for Humanizing Civilization”. Ia secara gamblang mengakui bahwa semua karya pilihan dari lembaganya itu, dibuat tahun 2014. Ada yang diciptakan sebelum thema pameran digulirkan, dan selebihnya yang dibuat setelah thema pameran ditentukan. Ia berdalih karena thema pameran kali ini cukup luas untuk bermanuver kreatif secara leluasa, sejauh karya itu tetap menghadirkan simbol-simbol kemanusiaan yang mengindahkan nilai-nilai yang memanusiawikan peradaban.

     Agus Cahyono, kurator STSI Bandung, menyoroti karya-karya drawing dan rancanganbusana dari lembaga yang diwakilinya. Drawing, dan karya tekstil busana dengan pewarna alami, menurutnya sangat baik mewakili interest dan jati diri para mahasiswa STSI Bandung, dalam menunjukkan kelokalan dan ciri-ciri seni etnis daerah Bandung. Seni dalam konteks ini menurutnya adalah wahana keberlangsungan pewarisan budaya masyarakat disana yang memiliki kelekatan yang kuat pada lingkungan alam dan nuansa alami. Ia melihat dengan jelas jejak proses perkembangan di tiap perguruan tinggi seni, yang selalu berupaya untuk menyajikan smangat kebaruan sesuai dengan keunggulannya masing-masing.

    Mengenai karya-karya yang disodorkan di kampus-kampus yang didatangi, untuk dipilih, kiranya  pendapat  Prof Dharsono, kurator dari ISI Surakarta layak diperhatikan. Ia mengatakan bahwa  karya-karya dari 7 Perguruan Tinggi Seni anggota BKS PT Seni, sangat beragam,  dan sebagian besar menyiratkan kegelisahan dalam menyikapi perkembangan kreativitas seni dewasa ini. Seni Murni (lukis, patung, grafis), Seni  Kriya, dan DKV hampir semuanya mendambakan ekspresi personal dalam berkarya. Ia pun mencatat bahwa dilihat karya-karya yang ada nampaknya para mahasiswa mulai menyadari pentingnya kepekaan teknis dan pengembaraan imaginasi dalam proses kreatif. Maka, ia menyimpulkanbahwa pameran bersama seperti perhelatan FKI 2014 ini sangatlah diperlukan, sebagai ajang dialog antara seniman, karya, dan penghayat untuk memperbincangkan ragam bentuk, ragam makna, dan ragam nilai dalam seni. (Catatan kuratorial Sony Kartika / prof Dharsono).

    Sinyalemen mengenai kegelisahan oleh Dharsono sungguh layak untuk dicermati. Macam-macam penyebab atau pemicu kegelisahan. Namun menurut penulis (M Dwi Marianto) boleh jadi kegelisahan itu disebabkan oleh realita semakin membesarnya gap antara wacana seni  yang berkembang di lingkungan akademis kampus PT Seni, dan apa yang menggejala di luar ‘pagar’ lembaga akademis. Beberapa tahun belakangan ini paradigma akademik lebih megarah ke sistem yang menekankan paradigma yang bersifat linie, dalam mana hanya perkembangan ilmiah yang selalu segaris sajalah yang memperoleh point. Proses penciptaan seni, riwayat penelitian dan penulisan yang dianggap benar dan kredibel harus yang selalu sebidang, atau segaris dengan tahapan yang berjenjang.  Atau, proses kreatif yang dibayangkan sahih dan saintifik adalah yang sejak awal terjabarkan secara jelas pilah, dengan struktur dan proses perealisasian yang memiliki kepastian dan serba terukur. 

    Padahal kenyataannya, realita yang sesungguhnya itu selalu membingungkan, absurd, dan lompat-lompat. Ide-ide seni itu biasanya berseliweran dan bergerak zigzag. Sehingga muncullah ungkapan “from chaos to order” – dari yang serba acak ke ketertataan. Yang menggejala di dunia seni manapun, misalnya sebagaimana yang sudah sering tergelar di berbagai perhelatan seni rupa, orang dapat jelas melihat bahwa karya-karya seni yang menggebrak cara pandang, dengan daya ganggu kuat, yang menginspirasi munculnya kebaruan, dan yang sarat metafor kreatif baru, biasanya justru karya seni / disain yang pemunculan ide kreatifnya tidak linier, melainkan yang dinamik non-linier. Ide-ide itu dipetik dari luar ‘kotak’ kelaziman, atau yang ditangkap dari sesuatu yang bergerak di wilayah yang samar-samar.

    Kegelisahan adalah energi yang dapat diubah menjadi daya kreatif. Tanpa kegelisahan dan rasa terprovokasi, pikiran seniman akan melambat, berhenti, lalu mati. Orang belajar memang harus gelisah. Seperti halnya ketika orang masuk ke dalam suatu ruang pamer  yang menggelar karya-karya yang menginspirasi; ia akan gemetar, gelisah, jantungnya berdegup,  merasa tertantang, ‘panas’, lalu berkata “aku juga bisa”.

    Semoga Pameran Seni Rupa di FKI ke-8 di Kampus ISI Yogyakarta menjadi forum pembelajaran bagi siapa saja, apakah yang mengorganisisr, melihat, mengkritik, atau yang mengambil hikmah apa saja dari padanya, baik dosen maupun mahasiswa. Sebagai greget merencana karya yang menawarkan inovasi, novelti, atau apa saja yang memberi makna istimewa bagi dirinya dan masyarakat. Salam FKI

M Dwi Marianto
Kurator Tuan Rumah FKI 2014
Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Thursday, 4 September 2014

ESSAY 1 : Nur Hasni Abdul Motthalib

WHAT I TALK ABOUT WHEN I TALK ABOUT ART SCENE

My involvement in the art scene only started in mid-2012 and at that time, I knew close to nothing about the art scene. The only artist I have ever heard and met was Jailani Abu Hassan; who was a client assigned for my sophomore year project in architecture. In understanding the profile of the client, I did a background research on him, looking for any story/news/articles that I could find on the internet that could give me a glimpse of the life of an artist. And I did found one interesting article relating his early struggle; from dropping out the military college, doing portraits and tourist art on Jalan Tuanku Abdul Rahman upon his graduation in Fine Art from MIT (now UiTM), joined Anak Alam, to being noticed and was given a scholarship to London. It was a struggle still for him in London in finding his own identity as an artist.₁ It was a sad epoch of his life but while I was reading the article, never once I felt sorry for him. The only impression that imprinted in me was ‘How cool is the life of an artist, to be able to do what they love most, declining the normal way of life, to be carefree’. That was my view from outside of the circle.

But from the inside, it is not as free and easy as I thought it was. The more I look around, the more I realized how fragile Malaysian art scene is: from the current state of National Visual Art Gallery (NVAG), the state of the art scene today, the common courtesy of private/commercial galleries, the inadequacy of local art education system, and the moral ambiguity of the art community.

The current state of NVAG.

During the opening reception of “Grande”; a group show at Core Design Gallery recently, the current chairman of NVAG, Dato Mahadzir Lokman in his opening speech proudly announced his contentment on how Malaysian art scene has been standing strong since the establishment of NVAG (or formerly, and soon to be known as its original name; National Art Gallery or NAG) in 1958, as opposed to Singapore, following their upcoming launch of Singapore National Art Gallery in October this year.

It did sound ‘grande’, the 56-years-official-history of Malaysian art scene if to be measured since the inception of NVAG, but I have to disagree with the idea of defining success only by looking at the time frame alone. I know it is unfair to compare Malaysian art scene with those in European countries where the history of art spanned for thousands of years. But if to observe from Southeast Asian countries point of view, we cannot easily be satisfied with where we are today.

Though it is a fact that Singapore will only have their national art gallery in 2014, it does not mean that their achievement in art scene is any lesser than we do if we look at the accomplishment of Singapore Art Museum (SAM-founded in 1996, almost 40 years later than NVAG), Art Stage (since 2011) and Singapore Biennale (since 2006), while Indonesia has gone to another level with their annual ArtJog (started out in 2008 as part of Yogyakarta Art Festival and became independent in 2009), Jakarta Biennale (since 1968, previously known as ‘Pameran Besar Seni Lukis Indonesia’), Biennale Jogja (since 1988), and the newest Jogja Miniprint Biennale that was first held in June 2014. These events not only act as a platform for artists worldwide to exchange ideas and have a critical discourse but at the same time, flocked in art lovers from across the globe and help boosting the tourism industry of both countries.

Back in Malaysia, we are still arguing whether to use NVAG over NAG. Together with a series of unfortunate events that led NVAG/NAG to an even worse state; especially the scandalous solo exhibition of “Ken Yang, Paris – Kuala Lumpur” and the protest “Kita Angkat Kita Julang Karya Kita” that follows one month after as an objection to the show, J. Anu’s case during M50 exhibition in 2013, as well as the Cheng Yen Pheng issue during the latest “Young Contemporaries”, which became quite a talk of the town.

It seems that we put our energies and emotions on small things when we should look at the bigger picture: how to create an ideal industry that works for everyone and how do we elevate the art scene on par with our neighbouring countries.

State of the art.

Former curator of NVAG, Tan Sei Hon’s words when being asked to describe the Malaysian contemporary art scene by Elaine Lau for The Edge Malaysia, Issue 809 on 7 June 2010 was:
“I felt that the late 1990s and early 2000s were more exciting. There were seriously experimental works [and a] spare no expense kind of attitude. Later things slowed down a bit. And now when you talked about contemporary art, it’s mostly about paintings, stuff that is quite trendy and saleable. I feel there’s a lethargy, that the energy is kind of down. Those who can sell remain, they prevail. But those who can’t, some who did some really kick-ass work but couldn’t sustain themselves, they kind of dropped out.”₂

True enough; sales of artworks will definitely give artists a boost they need to keep producing arts. The problem these days is when the sales is the only thing that artist expect in producing arts, which reflected on the kind of arts they produced; commercial.

The loophole.

Other statement from Sei Hon that really caught my attention during the radio interview was “We can’t do everything,” referring to the limitations of NVAG as a sole organization to elevate local art scene. (Though the statement to me was quite an easy escape), this is where private organizations and galleries and even artists themselves come into the picture, and the way I see it, some of them have done everything that they can afford, as far as their financial statement would allow them to.

Take a look at how private galleries like HOM Art Trans (former House of MATAHATI – with their notable ARTRIANGLE, SAGER, A-RES, INTERES, MEA AWARD, YOUNG GUNS), Galeri Chandan (KJ, KJF, NAFAS, MEA AWARD/FMA) and G13 Gallery (run a residency program in Bali) who take their own initiative to provide residency programs for artist so that these artists will have an exposure that could stimulate their thoughts, enhance their techniques and widen their connections; a break from their normal routine. Not to mention international exhibitions and art fairs, art talk, workshop, special projects, for the betterment of the art industry. These kinds of programs (especially those held abroad) do not come cheap and requires hard work by the gallery management, with most galleries can only afford to hire 2-3 personnel under their roof.

Even artists themselves have taken initiatives to create new platforms for art to be viewed, discussed and appreciated in a whole new level that parallel with the advancement of information technology. For example, Hasnul Jamal Saidon has teamed up with Niranjan Rajah and launched E-Art Asean Online in 1997-1998, a project to document artworks using non-traditional media; the internet. Sharon Chin, a conceptual artist, together with freelance curator Simon Soon and curator Eva McGovern has come up with an art blog that they called Arteri. While Bayu Utomo Radjikin and Nur Hanim Khairuddin opened up MARS (Malaysian Art Archive and Research Support) that collect and archive mainly printed materials related to Malaysian art scene. It is such a waste that some of these projects or movements have now ceased their operation probably because of lack of fund and support. A thing that NVAG as the highest art institution formed under the board of ministry should be aware and act upon.

The common courtesy of private/commercial galleries.

As the name suggest, it is not the role of private galleries to think or plan for a better art scene in Malaysia. Most of the artists are unaware or forget that commercial galleries are run by their own rolling fund. The operational cost of running a gallery is high; the rental, personnel and professional fees, logistic, and to add up the cost for opening reception. The only way for commercial galleries to survive is through sales of artworks.

Looking at the current situation, most private galleries like HOM Art Trans, Segaris Art Centre, Taksu, Pace Gallery, G13 Gallery, Core Design Gallery, Artelier and Galeri Chandan even, seems are in a good shape, based on the line up of shows every month. But there was a time last year that three or four galleries as mentioned above featuring the same list of artists in the same month; a group of young artists whose artworks was in a high demand in the market. It is inconsiderate for private galleries to only think and care about profit without taking into consideration the welfare of the artists and the effect if they appear too frequent on the surface.

However money-driven line of work we are in, it is our common courtesy to educate, advice and not to take advantage of these budding artists who might be ignorant of how the game of capitalist is being played on a higher ground.

The inadequacy of local art education.

Young artists (mostly graduates from UiTM) that I managed to have heart-to-heart conversation with regarding the art scene, most of them commenting that the five years diploma and degree education in the university does not prepared them to be in the art scene.

Art scene in Malaysia means more than just a passion. The moment artists put a selling price on their artworks, it is already a business. And if anyone lives day to day on the sale of artworks alone (full-time artist), being an artist means more than just a hobby, it is a profession. It’s what they do for a living. And just like any other businesses, there are terms like management, marketing strategy, the ethics and the code of conduct, applied. The problem with the current education system is, fine art students only being exposed or taught based on the technical parts alone, by lecturers who are not actively involved in the art scene themselves. As if upon graduation, art will only be a skill that they have for life.

Not to mention the issue with UiTM policy that enables the university to choose and keep a number of the students’ artworks as the university collections. The problem is these collections are not properly handled and kept. Some of the artworks were sold behind the artists’ back while some of them were even being disposed because of the bad condition due to improper handling. This kind of moral disvalue performed by a higher authority is the reason these young artists act arrogantly and defensive upon leaving the university and entering the art scene.

The moral ambiguity within the art community.

Our art community is built by a small and close-knit group who share similar passion. From the artists, the gallerists and the collectors, at some point we even become friends, and it is easy to get personal in a sensitive industry like this. But no matter how close the relationship is, it is best to keep being professional at all times.
That includes redefining the freedom of speech. Artists are expressive; if they cannot get their artworks be seen, they will get their words heard or read in the blog, Facebook statuses, etcetera, in the name of critics. But there is a huge difference between commenting and condemning. A critic is never a self-defense and should be made without having any personal connection to a certain issue.

The other prominent issue that deals with moral ambiguity within the art community is that there is a scenario that could be seen during opening reception at the galleries; different crowd for different artists featured, artists who only hang out with those in the same group or level (comfort zone), artist who hardly come to the opening but when you see him or her you know that he or she will have a show at a certain gallery soon, artists who when asked are they going to a certain opening at a certain gallery and the reply is “I don’t think so, I don’t know the artist” or “I’ll see if he/she come to my show then I’ll go to his/her”, artists who when being invited to the opening asked, “What’s on the menu?”.

There is another activity held during the opening reception that usually happened among young artists, which I called “counting red dots”. To the eye of young artists, the definition of a good show lies on how many red dots you can find on the wall. It might seem unimportant, but these attitudes portray who we really are inside; our thoughts, our principle and things that matter to us.

I do hope that in time with ‘Merdeka’ and Malaysia day, we will realize that our role and involvement in the art scene is not just a personal thing, but a national agenda! But until the gallerists learn to look at artists as a liability rather than just a commodity, until artists learn to put the differences aside and support each other (regardless the different opinion and principle), until we all learn to be rational rather than being emotional and come as one, it will be a long journey still for Malaysian art scene to flourish.

NUR HASNI ABDUL MOTTHALIB
August 2014

This writing was never intended to point finger to any individual, organization or institution. If it does offend or hurt anybody, it was just because it is the truth, and truth hurts!

REFERENCE 
1. The man behind the art, The Star, 11 March 2007, Tan Lee Kuen. 
2. In conversation: State of the art, Lifestyle, The Edge Malaysia, Issue 809, 7-13 June 2010, Elaine Lau.

ESSAY 1 : Lam Shun Hui

UNDER CONSTRUCTION 2014 MIA FINE ART DIPLOMA SHOW

This is a group show for the fresh graduates in MIA, serving as a platform for both learning and self exposure. There are a total of six artists participating in this show, all embracing different styles and themes for their work. This show displays their works during their final semester in MIA, thus a display of their learning results as well, only this time, with the public as their assessor instead of lecturers.

Under construction was a title decided at the beginning of the exhibition, representing our status as fresh graduates whose future and career are still under construction. It is only a play of words when we thought about it initially.

But personally, I interpret the term “Under Construction” as an action which we artists do a lot, as we are generally people who create something out of nothing. I suppose despite the diversity of themes and artworks that can be seen in the art scene, the initial motif of it might be nothing more than an idea, or even a prank, which then undergo a process of realization.

The outcome of this realization, the artwork, brings different, say, effects, or impact towards the society. Some works are rather subtle — when compared to some rather radical works which can have a sound impact when said works are presented to the public— expressions of personal emotion or inner world of the artist, which would be like dripping water into a vast ocean, while some —like the works of Ai Wei Wei— which surrounds itself around controversy, using the controversy to speak about the controversy, would definitely be on the opposite end of the spectrum if there was one, like sinking an entire island.

I think that although not in a conventional way, these pieces and the people behind them are all in their own scale and method, contributing to the construction of the society. Although it might not seem so, a work of self expression still has its impact, albeit on a more personal level. It brings together the feelings of people, who knows, it might evoke something huge.

Artists might not have as direct an influence as politicians or economists have on the course we go, but we still are pushing the minds of people forward, either by pushing on boundaries or by highlighting something or setting an example, who knows, which I believe are the exact fundamental elements of change.

By getting together this time, I won’t say that we are constructing the society, but I think we can agree that by holding this show, we had set up an example to future Fine Art graduates, a construction in itself.

The show will be coming to its end in a few days. This version of interpretation on our title is something which I came to realize when we are halfway through the show. Me and my friends, we might have different interpretations and thoughts about it, as one of them told me that it was due to the passion for art that makes people willingly go through this molding process to construct themselves into the ideal which they see and aspire to be: an artist.

Which it might be true as well.

ESSAY 1 : Anwar Azhari

DARI TANAH

Dan (ingatkanlah peristiwa) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia dari tanah liat yang kering, yang berasal dari tanah kental yang berubah warna dan baunya. (surah Al-Hijr, ayat 28)

Mengimbau pameran residensi Faizal ‘A Piece of Land’ di Galeri Shah Alam pada tahun 2011, ‘tanah sekangkang kera’ yang disediakan telah diterokai dengan sebaiknya. Umpama rutin seorang petani, benih yang disemai dengan peralatan untuk berbudi dan berbicara pada tanah kian membuahkan hasil.  Menjadi saksi kepada tanah dan persekitaran luar negara seperti Singapura, Beijing dan Bali menambahkan kematangan Faizal dalam perbandingan sosio budaya setempat sebagai inspirasi menghasilkan karya.

Meneruskan penerokaan kembara seni ke Bali telah menajamkan lagi pandangan Faizal dengan memanfaatkan rakaman diarinya dalam pameran ‘Silent Diary’. Justeru memberikan ilham pada hasil karya tahun akhir di pengajian peringkat Master pada tahun lalu.  Karya cetakan pemindahan terus lahir dari pemerhatian kehidupan seharian beliau.  Penempatan studio dan penginapan yang dikelilingi tanah dan bercucuk tanam antara elemen penting dalam pengkaryaan Faizal baik di Meru mahupun di Hulu Langat.

Set peralatan cetakan yang sering dibawa bersama membolehkan Faizal mendapatkan kesan   jalinan secara langsung. Permukaan simen dan tanah menjadi pilihannya untuk dipindahkan ke kanvas. Karya berjudul ‘Menyemai Budi’ menampilkan kesan jalinan halus dan kasar permukaan tanah penerokaan Faizal. Kasar dan halus yang mewakili perjalanan penerokaan tanah yang terbentang luas tanpa gambaran perspektif dalam penghasilan karyanya kali ini.  Proses penyemaian benih dari mula hingga genap waktu menikmati hasil tanaman disulami dengan warna hitam terang dan gelap mendasari sebahagian karya. Kumbang dan benih serta tunas dengan bicara Faizal bermain pada tanah  dipermukaan catan.

‘Buka Tanah’ digambarkan bentukan siput, benih dan dedaunan serta rantingan di atas tanaman. Daripada biji benih yang tidak jauh bezanya antara satu sama lain, akan tumbuhlah pokok, batang, daun, bunga dan buah yang berbeza-beza .  Pengaruh alam sekeliling sememangnya amat kuat pada kehidupan manusia. Oleh itu perlakuan sesuatu perkara diukur dengan apa yang berlaku di pandangan mereka.  . 

Menjalani kehidupan perlulah ada perencanaan seperti firman Allah:-

“Yusuf menjawab: "Hendaklah kamu menanam bersungguh-sungguh tujuh tahun berturut-turut, kemudian apa yang kamu ketam biarkanlah dia pada tangkai-tangkainya; kecuali sedikit dari bahagian yang kamu jadikan untuk makan” – (surah Yusuf, ayat 47)

Perencanaan adalah untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada masa akan datang, sekaligus juga bertujuan mencapai sasaran yang dituju .  Faizal telah merencanakan apa yang ingin disampaikan kepada khalayak mengenai kepekaan manusia kepada alam. Benih-benih yang membesar menjadi tumbuhan membekalkan oksigen kepada manusia dan kita semakin  melupakan kepentingan benih dalam proses tumbesaran kita.

‘Sebenih Sepi’ mengingatkan kita akan kembalinya setiap makhluk kepada Pencipta dalam timbunan tanah liat kelihatan bersendirian dan sepi.  Asal kejadian manusia dari tanah pulang ke tanah merupakan semaian yang tersirat dalam erti kemanusian bersama penyampaian Faizal kepada masyarakat. Wallahu’alam.

Anwar Azhari 
Kelana Jaya
Februari 2014

ESSAY 1 : Intan Rafiza

KUASA HARAPAN DAN TANAH

Dirgahayu tanah air ku…
Seni itu sudah lama merdeka. Ia adalah medium penghubung antara manusia sejagat dan juga antara manusia dengan Pencipta dan alam. Ianya medium pembina negara bangsa, malah seni boleh menghancurkan kuasa penjajahan fizikal dan mental. Melalui seni muzik, teater, filem, seni persembahan, seni pertunjukan, fotografi, seni jalanan malahan seni visual, seni merupakan medium komunikasi yang dilihat paling hampir dan rapat sejak dari dulu lagi dalam menyampaikan mesej kepada masyarakat .  Sejauh manakah medium ini menjadi tukang seni, dan dalam skop kemerdekaan bagaimana pengkarya menggunakan seni untuk memahami apa itu maksud merdeka dan kemerdekaan? Samada dalam skop yang lebih luas atau memperkatakan tentang kemerdekaan diri sendiri?

Bersempena sambutan kemerdekaan yang ke-55 pada tahun 2012 ini, Pameran ‘Kuasa, Harapan dan Tanah’ dipersembahkan dalam ruang galeri 2B, Balai Seni Visual Negara. Pameran adalah eksposisi dari  karya koleksi BSVN dari pelbagai medium penghasilan, pengkarya dan karya dalam ruang, masa  dan pengalaman masing-masing.

Pameran ini menggunakan tiga kata utama penegasan iaitu ‘kuasa’, ‘harapan’ dan ‘tanah’  dalam menghuraikan proses dan nilai kemerdekaan untuk dihargai dan dikenang. Rasa dihargai dan dikenang ini adalah untuk menerapkan rasa cintakan negara atau kata yang lebih utuh adalah  rasa ‘patriotisme’.
Pameran ‘Kuasa, Harapan dan Tanah’ adalah dedikasi buat para patriot seni yang menggunakan seni sebagai senjata dan kreativiti dalam menyampaikan  mesej tertentu. Malah tiada darah atau kematian yang mengiringi perjuangan  tetapi  rakaman visual melalui kepelbagaian medium seni yang  akan  bertahan  100 tahun lagi. Koleksi ini adalah tanda pensejarahan pengkarya–pengkarya terdahulu dan kini yang mempunyai suara dan berekspresi seni dalam berhubung dengan masyarakat sekeliling.  Ianya tanda sokongan dan keyakinan kepada kuasa kebebasan suara rakyat, sistem demokrasi dan rasa cintakan tanah air.
Membawa erti ‘kuasa’ dalam pemilihan karya adalah terdiri dari karya-karya yang melibatkan isu yang lebih dominan di dalam menyampaikan mesej. Lebih bersifat penegasan terhadap satu titik kesimpulan dalam karya yang diketengahkan. Ianya boleh dilihat dan ditafsirkan dari segi isu dan idea yang dibawa ataupun imej-imej yang digunakan.


Amir Zainorin/ T.A.R/ 2007/ Akrilik, kolaj dan gel atas kanvas/ 110 x 150 sm


Yoh Poh Sin/ Chin Peng/ 1950/ Cetakan gelatin perak/ 47 x 72 sm

Karya ‘T.A.R’ oleh Amir Zainorin merakamkan ikon merdeka Tunku Abdul Rahman dalam inspirasi yang berunsurkan pop seni yang mana ikonik disusun berulang dengan warna dan komposisi berbeza-beza. Teknik tampalan (kolaj) dan sapuan warna digunakan dalam menggunakan elemen pengulangan yang membentuk satu komposisi yang lebih harmoni. Selain dari itu juga, rakaman foto ketua Parti Komunis Malaya (PKM) iaitu Chin Peng oleh Yoh Poh Seng  adalah antara karya seni medium fotografi yang  merakamkan kuasa besar haluan kiri sewaktu negara melalui proses kemerdekaan.
Kedua-dua karya yang menggunakan imej individu ini mengingatkan semula  tentang  Rundingan Baling 1955 di antara Tunku Abdul Rahman dan Chin Peng. Rundingan ini telah gagal untuk mencapai kesefahaman dalam mengisytiharkan  kemerdekaan Malaysia pada 31hb Ogos 1957 yang kita sambut  tanpa persefahaman  Parti Komunis Malaya sehinggalah Perjanjian Haadyai  dibuat  di antara kerajaan Malaysia, Thailand dan Parti Komunis sejajar dengan kejatuhan komunis di Rusia dan runtuhnya tembok Berlin di Jerman Timur pada 1989.

Selain daripada itu juga, karya  ‘Вечная слава героям‘ (‘Kemuliaan Pada Pahlawan-Pahlawan Selama-lamanya’) oleh  V. Fedyavskaya  adalah di antara karya yang dipertontonkan dalam pameran kali ini. Karya ini  merupakan hadiah daripada Kedutaan Rusia kepada BSVN sekitar tahun 1970an bersempena satu pameran yang telah diadakan di BSVN. Pengkarya merakam imej figura yang melambangkan rakyat Rusia sewaktu Perang Dunia II ketika penentangan kuasa Soviet Union terhadap kuasa Nazi Jerman.  Imej tiga lelaki yang mengangkat senjata dikiri dan dikanan, imej ibu dan anak memegang bunga dan lambaian sapu tangan yang melambangkan bagaimana kesatuan seluruh rakyat dalam berjuang untuk mencapai kemerdekaan negara. Perkataan bahasa Rusia yang membawa maksud ‘aman’ menjadi subjek utama pengkarya dalam menghasilkan karya ini. Melalui karya ini juga dapat dilihat bagaimana V. Fedyavskaya merakam tahun bermulanya Perang Dunia Kedua dan pengakhiran tanda pembebasan negara dari penjajahan.

 
V. Fedyavskaya/ Kemuliaan  Pada Pahlawan-Pahlawan Selama–lamanya/ Cetakan lino/ 55.5 x 81 sm

Selain daripada melihat bagaimana kuasa dunia mencapai kemerdekaan dan kebebasan yang bersifat nasionalis dan patriotik, satu lagi karya  dari Amir Zainorin yang  bertajuk  ‘The Stamp Series’ merakamkan portret patriot yang tidak didendang  terdiri dari mereka yang berlainan haluan politik tetapi dalam satu perjuangan kebebasan dan cintakan tanah air. Wajah Abdul Aziz Ishak iaitu seorang  lagi pejuang yang pernah menyertai kabinet negara pada pemerintahan Tunku Abdul Rahman sebagai  Menteri Pertanian dan Koperasi, pahlawan Melayu Mat Kilau yang menentang penjajahan Inggeris, srikandi Ketua Wanita UMNO Khadijah Sidek, perajurit Suriani Abdullah dan Shamsiah Fakeh dari Rejimen ke -10, pejuang sastera Pak Sako dan beberapa yang lain lagi.

Amir Zainorin/ The Stamp Series/ 2008/ Cetakan digital/ 56 x 46 sm

Dalam melewati kuasa-kuasa besar yang haluannya adalah berbeza-beza, perkara ini dilihat sebagai satu titik tolak rakyat mencari jalan untuk melepasi diri dari penjajahan dan ke arah kemerdekaan.
Kata ‘kuasa’ juga ditafsirkan di dalam karya Wong Hoy Cheong melalui Siri Migran  iaitu salah sebuah karya beliau yang bertajuk, ‘Dia Kahwin Umur 14 Tahun dan Dapat Anak 14 Orang’ (‘She Was Married at 14 and Had 14 Children’).  Dalam karya ini imej ibu yang memegang alat penoreh getah dan di kelilingi aksi manusia yang seakan-akan anak kecil dan juga terdapat nota wang lama di atas permukaan karya.  Persoalan perempuan menjadi ketua keluarga, bertanggungjawab dan secara tidak langsung berkuasa di dalam mengelola menjadi salah satu rakaman yang ingin disampaikan.  Dalam siri karya ini juga, pemerhatian pengkarya terhadap penghijrahan, hubungkait pengalaman dengan isu pembawaan buruh pada zaman British dirakamkan. Melalui potret keluarga dan nostalgia ia telah disatukan dalam penggunaan warna hitam – putih yang lebih bersifat nostalgik.

 
Wong Hoy Cheong/ Dia Kahwin Umur 14 Tahun dan Dapat 14 Orang Anak/ 1994/ Arang dan fotostat di atas kertas/ 190 x 150 sm

Melalui kata ‘harapan’, ianya  dilihat sebagai satu kata yang berkaitan dengan doa dan masa hadapan. Pemilihan karya yang mempunyai unsur harapan dikongsi bersama dan nilai tanggungjawab dan inginkan perubahan menjadi titik tolak kata harapan itu sendiri. Karya-karya seperti  ‘Siri 48/48’ oleh Noor Azizan Rahman Paiman dalam siri yang ke 36 ada menyatakan kata-kata Latiff  Mohidin:

‘Ruang kemerdekaan ku tidaklah begitu luas Cuma 2’ x 3’ dan ada pula batasnya. Maksudku, bidang kanvas yang berbingkai ini tanggungjawabku hari ini. Mengisinya dengan sebaik-baik akal budi…’
Kata-kata harapan yang berkisar tentang tanggungjawab seorang pengkarya seni  yang mana pengkarya menjadikan karya itu sebagai satu simbolik kepada ruang kebebasan dan merdekanya diri di dalam melakar sejarah seni.  Seperti mana salah satu puisi berbaur kemerdekaan oleh Latiff Mohidin yang bertajuk ‘Songsang’ berbunyi:

Maafkan aku kalau aku sering saja berlaku songsang
Terutama di perayaan tahun seperti hari ini
Apabila semua orang telah sedia duduk aku bangun berdiri
Apabila orang bangun bertepuk aku duduk
Apabila orang ghairah berbincang aku tidur
Apabila orang melepaskan merpati aku tabur padi
Orang lain telah merdeka aku belum
Maafkan aku kalau aku sering saja berlaku songsang
Aku hanya ingin mengingatkan…

 
Noor Azizan Rahman Paiman/ Latiff Mohidin/ 2005/ Media campuran atas kertas/ 17 x 13 sm

Tafsiran dan harapan seorang pengkarya seni yang menggunakan pelbagai genre di dalam mengolah dan berhubung dengan masyarakat digunakan dalam menyampaikan mesej. Bahasa kesusasteraan dan lakaran Latiff Mohidin bergerak seiring dalam idea atau konsep yang ingin beliau sampaikan.
Berbalik kepada karya siri oleh Azizan Paiman ini, penyataan  pendapat, harapan dan kata sinis menjadi sebahagian imej dan rakaman untuk setiap bahagian karya yang dihasilkan. Gabungan imej dari garisan bebas yang membentuk rupa baru telah dimaknakan dengan kata-kata dari penyataan orang-orang tertentu.

                                  
Syed Ahmad Jamal, Datuk/ Demostrasi dalam Salji/ 1959/ Cat minyak/ 101 x 132 sm

Dalam karya ‘Demostrasi dalam Salji’ oleh Datuk Syed Ahmad Jamal pula ianya merupakan satu karya yang dihasilkan sewaktu  beliau melanjutkan pengajian di Maktab Perguruan, Lancashire, England pada tahun 1958 . Karya yang merakam keadaan waktu itu di mana adanya tunjuk perasaan oleh masyarakat setempat yang berkisarkan tentang semangat global untuk memerdekakan diri dari kolonialisme oleh pelajar-pelajar maktab perguruan Kirby. Pengkarya melihat kejadian ini dari tingkap bilik; tindakan radikal para pelajar menghumban kerusi dan meja dari tingkap dan membakarnya dalam kedinginan salji. Ironisnya rakaman ini telah dilukis  sewaktu setahun Malaya mencapai  kemerdekaan pada 1957.

Perihal  ‘tanah’  adalah satu perkara yang penting di dalam menjadikan maksud merdeka agar lebih bermakna. Tanah yang merujuk kepada tanah air, tempat di mana harapan dan kuasa itu direalisasikan. Perkataan ‘tanah air’ adalah kata yang sempurna untuk digambarkan dalam menyatakan kecintaan pada negara dan bagaimana alam berhubung dengan manusia dalam lingkungan hidup seharian dan juga alam sekitar.

                                    
Zulkifli Mohd. Dahalan/ Realiti Berasingan - Suatu Hari di Bumi Larangan/ 1975/ Enamel atas bod
244 x 366 sm

Karya ‘Realiti Berasingan - Sehari di Bumi Larangan’ diungkapkan dari garis-garis terseksa dan pembentuk buruk rupa manusia terhasil dari lanjutan gambaran figuratif Malaysia. Dengan idiom gambaran yang berani, permandangan yang tersumpah mempunyai makhluk berjiwa dari gambaran manusia tanpa pakaian yang mengawal dan dari sini beliau sangat kritis tentang tanggungjawab masa depan manusia  dari kesan alam sekitar dan keadaan sosial masyarakat. Karya ini cuba menggambarkan tentang tindakbalas generasi terhadap masyarakat hasil dari pemerhatian keadaan dan peristiwa.  Melalui lakaran-lakaran spontan dan garisan ini, ianya membentuk imej imaginasi tersendiri mengingatkan tentang karya oleh Zulkifli Mohd. Dahlan yang mengandungi penduduk anti-kebendaan  .

Karya ‘Solomon Bermain Piano di Chin Woo’ oleh Patrick Ng Kah Onn adalah di antara empat karya pertama yang menjadi koleksi awal di Balai Seni Lukis Negara. Karya yang dihadiahkan oleh Majlis Kesenian Malaya pada bulan Ogos 1958  ini adalah salah satu karya penting dan mempunyai tanda pensejarahan tersendiri yang mana pengkarya cuba merakamkan pada waktu itu. Mengingatkan bagaimana pada zaman 1950an sebuah bangunan yang dikenali sebagai Stadium Chin Woo, yang terletak di Jalan Hang Jebat berhampiran dengan Stadium Merdeka,  menjadi satu tempat untuk rakyat berkumpul dan menjalankan  aktiviti sukan  dan juga acara kesenian di dalam medium yang pelbagai. Asas projek telah dirasmikan oleh Duli Yang Maha Mulia Sultan Alam Shah Hishammuddin pada 31hb Ogos 1950 dan  Majlis perasmian telah dirasmikan oleh Tuan Yang Terutama, Sir Mc Donald, Pesuruhjaya Tinggi British pada 11hb Disember 1953 dengan disaksikan oleh pemimpin tempatan.


Dalam karya ini rakaman suasana ketika itu, Solomon adalah seorang pemain piano tersohor dari British sedang mendendangkan muzik sambil diperhatikan oleh ramai penonton. Ianya adalah rakaman visual oleh pengkarya seni yang cuba merakamkan bagaimana ruang stadium Chin Woo menjadi tumpuan untuk pelbagai perhimpunan yang bersifat seni dan bagaimana sokongan rakyat dalam meraikan seni. Imej orang ramai yang memenuhi ruang menjadi imej dominan dalam karya.


Mengimbas semula sejarah Chin Woo, ia bermula melalui seni mempertahankan diri yang telah bertapak di Malaya dengan pembinaan sebuah stadium awam. Dan di sinilah  ianya menjadi suatu tempat bagi aktiviti rakyat dijalankan dari sebelum negara mencapai merdekaan. Kini tempat berkumpulnya rakyat telah beralih ke stadium Merdeka dan Dataran Merdeka yang mana ruang ini menjadi satu tempat kepada masyarakat berkumpul dan menjalankan aktiviti sosial secara bebas dan lebih terbuka seiring dengan pengisytiharan kemerdekaan dan kepercayaan suara demokrasi.

                                  
Patrick Ng Kah Onn/ Solomon Bermain Piano di Chin Woo/ 1953/ Pastel/ 54.5 x 73 sm

Bertitik tolak tentang semangat cintakan negara, karya-karya lain seperti ‘Perjanjian Tanah Melayu’, ‘King house Kuala Lumpur’,  ‘Polimek 1986’ oleh Romli Mahmud, foto Chin Peng oleh Yong Poh Seng, ‘Ular Makan Katak Puru’ oleh O.C Edwards, ‘Kurasa Kuasa’ oleh Shahrul Anuar Shaari, ‘Eagle,Crow,Sparrow’ (Helang, Gagak, Lelayang’) oleh Li Chong Chuan, ‘Kuasa dan Kuasa’ oleh Nor Samad, ‘Pembaharuan’ oleh Shirley M.Hall, ‘Sir Henry Gurney’ oleh Harold speed,’ How Risky I am??’ dan ‘Susah Mental Block’ oleh Roslisham Ismail, ‘Some Dreamt of Malaya’ (‘Setengah Orang Mimpi Tentang Malaya’) oleh Wong Hoy Cheong, ‘The Raw Generation’ (‘Generasi Mentah’) oleh Ramlan Abdullah, ‘Siri 48’  oleh  Noor Azizan Paiman, ‘The Reformasi Series’ oleh Siew Lee Wong, ‘An Eye For An Eye Will Make The Whole World Go Blind’ (‘Hutang Mata Dibayar Mata Akan Membuat Dunia Jadi Buta’) oleh Ahmad Fuad Osman, ‘Demonstrasi dalam Salji’ oleh Datuk Syed Ahmad Jamal, ‘Perempuan dengan Keamanan’ oleh  Liijina, ‘Tanggungjawab’ oleh Hamidah Abdul Rahman, ‘Memohon Kepada Tuhan’ oleh  Thawan Duchanee, ‘Sebatang Lilin’ oleh  Laura Popenoe, ‘Kebudayaan Malaysia’ oleh Yang Sook Leng, ‘Kekecohan’ oleh Dato’ Ibrahim Hussein, ‘Yang Teragung’ oleh Robert Rauschenberg, ‘Raja Yang Balik Menyelamatkan Permaisuri’ oleh Rev Wipulansara, ‘Army Troop, Japanese troop cycling in Malaysia, Kuala Lumpur’, ‘Orang-orang’ oleh Mustapa Ibrahim, ‘Imigran’ oleh Chong Kit Leong, ‘Once Upon Time in a Far Away Land Of Mexico There Were the Rich and the Poor’ (‘Pada Suatu Masa Dulu di Sebuah Negeri Bernama Mexico Ada Orang Kaya dan Orang Miskin’) oleh Zakaria Ali, ‘Pertunjukan Boneka’ oleh Lim Mu Hue dan ‘Lorong Belakang’ oleh Tan Tee Chie turut dipamerkan bersempena pameran kali ini.

Menghadirkan wajah-wajah pejuang haluan kiri, perjuangan aliran lain yang sedang berlaku di di dalam dan di luar negara adalah intipati karya untuk pameran kali ini. Imej dan isu yang berbaur radikal dan sensitif untuk sesetengah pihak cuba disatukan dalam ruang pameran kali ini menandakan bahawa rakaman sejarah adalah sesuatu yang perlu diberi perhatian yang wajar dalam memahami ruang kehidupan dan menjadi sebahagian rakyat merdeka, dan ia bukanlah mitos yang boleh menyesatkan kefahaman perjuangan. Koleksi pensejarahan melalui karya seni oleh BSVN ini diharap dapat membudayakan semangat cintakan negara dengan memaparkan bagaimana konflik sekitar kehidupan ditangani sewaktu  kemerdekaan dan kebebasan itu ingin dicapai.

Kenyataan dan fakta yang mengarah perjuangan diri dan kumpulan masyarakat yang menuju agenda kehidupan yang lebih baik dan bebas dari penjajah atau kongkongan telah dirakamkan oleh pengkarya-pengkarya Malaysia yang cuba bertindak balas atas apa yang mereka fahami melalui pelbagai medium seni melalui ekspresi seni masing-masing. Sepertimana kata Robert Rauchenberg’,

‘Peranan artist adalah menjadi saksi terhadap sejarah masa’

Intan Rafiza

Rujukan bacaan:
1. Seni Lukis Malaysia-25 Tahun, 1983, Syed Ahmad Jamal, United Selangor Press.
2. Dewan Sastera, September 1974, Imej Timur, Keributan Politik Imperialis dan Mitos Penjajah, Ismail Abdullah.
3. Suluh Rakyat, Ogos 1987,Tokoh Nasional Yang Memperjuangkan Tanahair.
4. Dialog Seni Tampak, 1985,Nathan Knobler (Terjemahan oleh Zakaria Ali), Dewan Bahasa Dan Pustaka.
5. Art Fundamentals – Theory and Practice, 1998, Edisi Ke-8, McGraw-Hill Companies.

Rujukan laman web:
1. http://en.wikipedia.org/wiki/Art#Motivated_functions_of_art
2. http://www.chinwoo.com/history.htm
3. http://ms.wikipedia.org/wiki/Tunku_Abdul_Rahman_Putra_Al-Haj
4. http://ms.wikipedia.org/wiki/Chin_Peng

ESSAY 1 : Nur Zahirah

I just realized that I haven’t done any write up since I started working in art gallery. No time? It’s just an excuse!

After I graduated from Bachelor of Art & Design in UiTM Shah Alam in year 2010, I was unsure what I want to do but I am certain that I want to work in art industry and working in office hours; 9am to 6pm. I heard people in art industry always working until late night and even working on the weekend!

I browsed through internet and I found 2 galleries that fit my requirement (working in office hours) which is Art Village and Purple House. My first choice is Art Village because they have a branch in Bangsar which I find it very attractive because I love the idea working in Bangsar. :D

*Kindly be informed that I was so naïve at that time.

So I compiled my resume with cover letter and email to artvillage@teng.com.my and waited for them to reply. If they didn’t reply within 1 week, I will try to email the other gallery. After couple days the owner finally called for an interview.

It went well I think.. and the result: I had to work in Kelana Jaya because they just closed the Bangsar branch with working hours from 9am to 6pm – which may sound like YAYYY except that my working days are included SATURDAY AND SUNDAY.

Now it has been almost three years working in Malaysian Art Industry. Still young compare to the others. I’m immune to work extra hours and weekend.

Future plan? Still in planning.

I see a lot of opportunity and potential. You can even create your own opportunity because Malaysian Art Industry is still small and everyone try and error. The most important thing is you must have the passion and you can go far.

Nur Zahirah Abdul Samad

29 August 2014